Ket Foto. Istimewa
Oleh: Honing Alvianto Bana
SUARA TTS.COM | SOE – Seorang pemikir perancis bernama Jacques Rousseau pernah berkata:
“Manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara.”
Kira-kira begitulah nasib perempuan. Ia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara.
Di penjara oleh apa? dipenjara oleh sistem kolot yg ingin mendominasi. Jadi musuh utama perempuan adalah mental patriarki. Apa itu mental patriarki? mental patriarki adalah mental yang menindas perempuan dengan menggunakan ajaran-ajaran tradisional yang ditafsirkan secara bodoh dan serampangan. Mental ini seringkali dibiarkan dan akhirnya semacam menjadi sistem sosial yang di legalkan.
Dalam kebudayaan kita, sistem ini begitu halus sehingga sebagian perempuan pun tidak merasakannnya. Jadi untuk menjelaskan hal ini, saya punya satu contoh dari kisah nyata.
Ceritanya begini:
Saya memiliki seorang teman laki-laki bernama Tinus (Nama samaran) yang seusai tamat SMA, ia kembali ke kampung. Disana ia menikah dengan seorang perempuan yang ia kenal saat berkunjung ke sebuah kecamatan. Singkatnya, setelah itu keluarganya berkumpul untuk melangsungkan acara adat (Masuk minta).
Seusai acara adat, mereka akhirnya hidup bersama selama beberapa tahun. Dan mereka akhirnya dikarunia 3 orang anak.
Dalam beberapa tahun itu, keluarga kecil mereka baik-baik saja. Hanya saja, semua berubah saat Tinus mulai bekerja di salah satu kantor koperasi. Ia sering kali harus berkunjung ke beberapa desa untuk menagih angsuran. Karna pekerjaan inilah, Tinus akhirnya bertemu dan berkenalan dengan seorang perempuan yang lain.
Setelah berkenalan dengan perempuan yang lain, kehidupan keluarga mereka berubah. Tinus sering marah-marah dan memukul istrinya. Ia bahkan berulang kali mengusir istrinya untuk meninggalkan rumah mereka.
Beberapa setelah itu, Tinus membawa perempuan yang ia kenal ke rumah mereka. Ia lalu memperkenalkan perempuan baru ini kepada ayah dan ibunya.
Istrinya yang sah hanya bisa menangis. ia tidak tau harus mengadu kemana. Ia pun malu dan bingung karna sudah diusir oleh suaminya. Jika ia memilih untuk tetap bertahan, ia sudah tidak dianggap oleh suaminya lagi. Sedangkan kalau dia memilih untuk meninggalkan suaminya, lantas bagaimana dengan tiga orang buah hatinya.
Oh iya, dalam bahasa daerah kita(bahasa dawan),diceraikan biasa disebut dengan mpoli. Mpoli artinya diceraikan/dibuang/ditinggalkan. Sungguh, ini adalah sebuah kata yang justru semakin mendiskreditkan posisi perempuan.
Lanjut soal cerita diatas. Singkat cerita, istri sah dari Tinus ini akhirnya memilih meninggalkan suaminya. Ia membawa tiga orang anaknya dan kembali ke orang tuanya. Sesampainya di keluarganya, 3 orang anaknya ia titipkan kepada kedua orang tuanya, lalu beberapa bulan kemudian ia memilih menjadi TKW dan berangkat ke Malaysia. Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi sekitar 10 tahun lalu.
Saya menceritakan kisah nyata diatas sebagai contoh untuk mengajak kita semua memikirkan masalah-masalah seperti ini dari sudut pandang perempuan.
Coba dibayangkan, bagaimana perasaan perempuan yang sudah memberikan 3 orang anak, tapi suaminya memilih bersama perempuan lain.
Pertanyaan yang muncul setelah itu adalah bagaimana nasip 3 orang anak tersebut yang akan tumbuh tanpa kasih sayang orang tua? Bagaimana pendidikan anak-anak tersebut? lalu bagaimana dengan perasaan seorang perempuan yang diceraikan dan diperlakukan seolah tidak berharga seperti itu? Bagaimana perasaan seorang perempuan yang berulang kali menerima kekerasan fisik dari suaminya? Bagaimana malunya seorang istri dengan keluarga laki-laki dan para tetangga?
Dalam kondisi seperti itu, tentunya perempuan akan depresi, dan sangat rentan pada banyak masalah-masalah sosial lainnya.
Permasalahan stunting yang begitu tinggi di kabupaten TTS pun tentu ada hubungannya dengan masalah-masalah perempuan yang harus memikul beban ganda. Bagaimana tidak? Selain harus berusaha seorang diri untuk mencukupi gizi anak-anak, tapi disaat yang sama harus mencari nafkah sendirian demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Cerita seperti yang terjadi diatas sangatlah banyak dalam kehidupan masyarakat TTS. Sayangnya, dalam masalah-masalah seperti itu sudah dianggap biasa dalam kebudayaan kita. Dalam banyak kasus, laki-laki bahkan tidak pernah disalahkan. Yang sering terjadi adalah perempuan yang dianggap tidak mampu memuaskan suami, tidak becus mengurus keluarga dan lain-lain.
Cerita diatas hanya salah satu contoh saja bahwa dalam kebudayaan kita, masih tersembunyi sistem patriarki yang membuat posisi perempuan selalu berada dibawah.
Untuk itu, kita perlu dengan jeli untuk mendeteksi hal-hal dalam kebudayaan kita, agar hal-hal seperti diatas bisa kita tolak dan lawan.
Untuk melawan hal itu, perempuanlah yang harus berani untuk bersuara dan melawan. Selain itu, laki-laki pun harus betul-betul mampu menyadari dan melihat setiap masalah yang terjadi dengan jernih. Ini penting karna dalam berbagai kasus, kita tidak malah menyalahkan perempuan dengan cepat-cepat mendukung posisi laki-laki.
Banyak kisah yang bisa kita temukan dilingkungan sekitar kita, dimana perempuan hanya disuruh mengurus anak dan masalah-masalah rumah tangga lainnya, sedangkan laki-laki bebas bepergian kemana pun. Saat anak kekurangan susu, laki-laki masih terus santai dengan menarik rokok tanpa henti. Tapi jika ada masalah dalam rumah tangga, perempuanlah yang akhirnya dikorbankan. Kalau perempuan dikorbankan, maka anak juga ikut dikorbankan.
Selanjutnya, kita perlu menghilangkan sistem patriarki ini dengan mendidik anak laki-laki dan perempuan tanpa membeda-bedakan. Jangan menanam sistem patriarki pada anak laki-laki dengan membiarkan memukul saudara perempuannya, karna kalau tidak, ini akan terus terbawa sampai kelak ia berumah tangga.
Kita semua tahu bahwa kita memasuki gerbang kehidupan melalui perempuan. Sebagian besar manusia menjadi penghuni rahim perempuan selama sembilan bulan. Disanalah kehidupan tercipta. Ketika pertama kali menginjak dunia, kita juga dibimbing oleh perempuan. Cara-cara hidup dunia juga pertama kali diajarkan oleh perempuan.
Perempuanlah yang sesungguhnya menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa kasih sayang perempuan, keluarga akan tersesat di jalan.
Sayangnya,di banyak daerah, perempuan justru dipenjara dan dijajah. Budayalah yang memenjarakan, dan masyarakatlah yang menjajah. Perempuan yang memberi, namun ia tak pernah sungguh dihargai.
Dia tak boleh belajar. Karna kecerdasan perempuan kadang dianggap sebagai sumber pemberontakan yang menganggu harmoni masyarakat. Dia bahkan tak boleh melawan meski diperlakukan tidak adil. Hampir semua keputusannya didikte oleh lingkungan sosialnya, terutama para laki-laki.
Sebagai ibu dari kehidupan, perempuan harus keluar dari penindasan ini. Ia mesti sadar, bahwa peran sosial yang ia jalani bukanlah sebuah kemutlakan. Berbagai pilihan ada di tangannya. Kaum perempuan perlu sadar bahwa kehidupan bertopang di bahu mereka. Mereka mesti bangkit dari perasaan tak berdaya yang ditimpakan oleh masyarakat.
Namun, ini semua tergantung dari perempuan itu sendiri. Bisa dibilang, kunci perubahan sosial ada di dalam cara perempuan memandang dunianya.
Menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan. Menjadi perempuan juga berarti hidup dalam dilema. Ia dipuja dan dibutuhkan, namun dijajah sepanjang jalan kenangan. Sudah waktunya, dilema ini diakhiri. Kita perlu mendorong pembebasan kaum perempuan di TTS dan dimana pun. Mulai dari sekarang. Salam
*Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe – Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di Komunitas Paloli TTS dan Pemuda Gereja GBKN.