Uncategorized

Romansa di Tanah Watohari

7
×

Romansa di Tanah Watohari

Sebarkan artikel ini

 

Awan berarak di langit yang luas, membawa lamunan. Angin berhembus pelan, tanpa suara dalam keheningan. Dari cabang pohon Bidara, kerinduan menggantungkan harapan yang lebih kuat dari hujan. Di senja yang redup, bayangmu sering muncul dan menyatu dengan akar pohon Lontar. Gelisah dalam hatiku selalu membara, menandakan rindu yang datang di bulan November. Sementara itu, kerinduan tak pudar oleh waktu, meski ia menua dalam bahasa dingin tanpa rasa kasihan yang membasahi tanah. Indah terpatri dalam ingatan, menghapus kenangan lama yang menolak tetap tinggal.

 

Tiba-tiba, seorang perempuan yang sedang anggun-anggunnya menghampiriku dan memanggil namaku. Itu terjadi pada Jumat sore, setelah aku selesai merayakan gelaran gelak tawa dengan teman-teman lamaku. Perempuan ini masih kuingat, meski hanya setengah bayang-bayang. Dia sederhana, namun sangat istimewa. Dari dirinya, aku menemukan kembali makna ‘bahagia’ setelah diporak-porandakan dunia dan bahkan di saat-saat rasa sesal terdalam ku. Dia menjadi tempat pelarian dari kebisingan isi kepala dan riuh sumpah serapah yang disertai rintihan yang datang silih berganti.

 

“Tunggu sebentar, kamu Paji, kan?” teriaknya dengan manja, memanggilku. Aku pun berhenti dan menatapnya dengan lepas, tuntas.

 

“Iya, kenapa? Benar, aku Paji. Oh, tunggu, kamu Bitu, ya?” balasku. Sesekali parasmu yang menawan mengganggu tingkat tinggi hayalku.

 

“Apa kabar, Paji? Masih sibuk dengan kuliahmu?” tanya Bitu pelan dengan nada yang mengasikkan.

 

“Kabar baik, Bitu! Kuliah memang menyita waktu, tapi aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”

 

Bitu tersenyum, merasakan hangatnya perhatian Paji. “Aku juga baik. Sekarang lebih sering membantu orang tua di Kebun. Rindu sekali ngobrol panjang lebar dengan dirimu.”

 

Mata bersinar saat senyumnya yang tipis terjebak di antara desiran ombak Sawu. Keindahan alam menatap dengan lembut pada rangkaian kata-katanya yang mendalam. Nyanyian doa meluapkan puji-pujian penuh harapan di setiap kedipnya yang memikat. Hingga saat itu datang, semoga dapat menyatukan impian dan membasahi langkah demi langkah, jejak demi jejak, hingga segera meninggalkan kesan antara kita.

 

“Lihat, Bitu! Ada pelangi setelah redanya hujan sore ini!” seru Paji dengan mata berbinar yang cukup menenggelamkan itu.

 

“Ya, Paji. Ini adalah hadiah dari sang pencipta semesta setelah hujan pamit undur diri. Seperti perjalanan kisah kita, selalu ada keindahan setelah melewati berbagai macam badai,” jawab Bitu bijak dan mempesona.

 

Di akhir pembicaraan, dia berkata dengan tenang, “Semoga kamu selalu sehat, dan semoga kita bisa bertemu lagi untuk mengatasi rasa rindu yang telah lama rimbun di dada.” Tawanya terdengar lembut di tengah keheningan yang mengepung.

 

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab, “Kamu juga, semoga tetap sehat, ceria, cantik dan wangi serta atas apa yang telah kita rencanakan, semoga segera terlaksana dan terwujudkan.”

 

Bitu menatapnya dengan tatapan yang meneduhkan. “Tapi kita harus tetap menjaga komunikasi, kan? Aku merindukan cerita-cerita kita, Paji.”

 

“Setuju!” Paji tersenyum.

“Bagaimana kalau kita saling mengabari kalau ada waktu luang?”

 

“Sepakat!” Bitu berkata sambil tertawa manja yang mengantarkan debar.

“Aku akan menunggu kabar darimu.”

 

Sebelum pergi, aku memberanikan diri berbisik, “Rindu tidak bisa diatur, ia berjalan seiring waktu. Seperti halnya yang hanya bisa aku lakukan ketika merindukan dirimu, ialah dengan mendoakanmu.”

 

Akhirnya, kami pulang ke rumah masing-masing, membawa keraguan tentang cerita-cerita penuh hangat dan rasa mengangumi yang terus menghantui.

 

Mereka melanjutkan obrolan, berbagi mimpi dan harapan di antara kesibukan masing-masing. Dalam keheningan, mereka saling menatap, seolah ada yang lebih dari sekadar kata-kata.

 

Setelah pertemuan dan obrolan hangat, nyaman itu, aku berusaha memahami setiap tatapan yang kau berikan. Hampir tidak ada kebohongan dalam perjalanan waktu. Rindu yang mendalam tercipta melalui telepon dan pesan setiap saat, bercakap mesra dan berbagi perasaan saling merayu dengan setia yang tak karuan. Merindukanmu, aku menghayati kesunyian dalam lamunan. Kita seperti sepasang sandal jepit yang tak boleh terpisah hingga mencapai tujuan yang kita impikan bersama. Duduk dan menerima dengan pasrah apa yang ditentukan oleh Tuhan.

 

Entah mengapa, senyummu, lesung pipimu, kilauan matamu, wangi rambutmu, aroma tubuhmu, semuanya selalu aku rindukan dan tak ingin hilang dari ingatanku. Ini terlihat sederhana, tetapi sangat berarti bagi diriku. Pesona tatapanmu yang syahdu menyentuh hatiku, mengobarkan rasa ingin selalu berada dalam pelukanmu. Hai Nona dari Watohari, kehadiranmu sangat berarti bagiku. Semoga kehadiranmu tak akan pernah memudar dan menyisakan kesedihan yang mendalam.

 

Dalam bayanganku, saat hujan mulai turun: Kau tampil dengan jelitanya mengenakan daster hitam bermotif Shasta daisy kesukaanmu. Sementara aku, dengan santai, mengenakan sarung Sapphire bermotif Lilin dan telanjang dada. Dari teras rumah yang penuh kehangatan dan cinta, aku memintamu untuk membuatkan segelas kopi pahit dengan senyumanmu. Sedangkan asap rokok mengepul di udara dan aku membaca artikel tentang korupsi dan pelecehan seksual yang marak di perguruan tinggi akhir-akhir ini. Kita berbincang, saling lempar kecupan di bawah rintik hujan yang menenangkan. Aku menikmati kopi dan rokokku, sedangkan kau menghirup udara segar, merasakan aroma tanah yang basah setelah hujan pertama yang sekian lama di bumi Lamaholot, Solor Watohari yang mungkin masih perawan. Sesekali.

 

Di antara doa, sumpah, dan janji manis dari para pemangku kepentingan, para politisi sibuk berkoalisi, sementara langkah-langkah romansa mengalir hingga cahaya matahari menghangatkan jiwa diantara kita. Aku selalu mengagumimu. Kau adalah alasan senyumku sepanjang hari. Nona dari Watohari, biarkan jejakmu abadi di hatiku, yang selalu menyatu dengan aliran darahku.

 

“Jangan ada lagi air mata,” bisikku. Kata-kata itu menggema di dinding telepon saat kita bersantai, mengalahkan bahasa penyesalan dari sebuah pengandaian.

 

Ijinkan aku menjadi bagian dari indahnya mimpimu, penghibur saat sepi yang menenangkan, penawar dahaga rumit mu di tengah hujan yang deras, dan pelindungmu saat terik matahari. Aku siap. Kau hadir dalam setiap doa yang ku ucapkan. Mataku penuh kekaguman dan tak bisa berpaling. Akhir kata, bagiku, kau adalah cahaya yang kuharapkan selalu bersinar di pelupuk mataku. Aku mencintaimu dengan sepenuh hati dan tanpa ragu.

 

*Oleh: Paji Hajju*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Uncategorized

Calon Bupati Mimika Pilihan 2024 Johannes Rettob Pieter…