_Oleh Paji Hajju_
Di Desa Watohari, suasana sahur selalu terasa hangat dan berbeda. Suara ayam berkokok dan bunyi mesin motor yang bergegas menuju pasar menciptakan melodi pagi yang akrab. Nyanyian merdu muda-mudi setempat untuk membangunkan orang sahur dan Ibu yang sudah sibuk dini hari di dapur ditemani oleh Adik serta lagu-lagu Nisa Sabyan yang diputar oleh Bapak membuat kami merasa lebih dekat dengan keluarga saat menjelang sahur. Semua orang bersiap menyambut ibadah puasa dengan semangat, riang gembira, termasuk keluarga kecil kami.
Aroma wangi masakan khas Ibu memenuhi ruangan isi dapur serta di sudut-sudut tiang rumah yang ramah. Dari dapur, tercium bau nasi hangat putih, sayur kangkung hijau segar, kuah asam, sambal terasi, ayam goreng, ikan bakar, dan telur dadar serta ikan teri yang menggugah indera penciuman. Ibu selalu punya cara tersendiri untuk membuat sahur menjadi momen yang dinanti-nanti, dengan hidangan sederhana, istimewa yang tidak pernah gagal membuat kami terkesan.
Sambil menikmati hidangan sahur penuh khidmat, Bapak memulai obrolan kecil, ringan. Ia selalu punya cerita lucu tentang pengalaman di masa muda yang terus terbayang hingga usianya kini. Dengan gaya bicaranya yang kalem, karismatik, dan khas, Bapak bisa membuat kami tertawa terbahak-bahak, bahkan saat sahur yang biasanya tenang, khusyuk. Sedangkan Ibu sesekali menimpali gurau, candaan Bapak yang memikat dan menenggelamkan itu.
Adikku, yang nomer dua, selalu punya cara untuk mencuri perhatian dari pasang mata keluarga. Ia seringkali berkata hal-hal konyol, asal bunyi yang membuat suasana semakin ceria di ruang tengah. “Nanti puasa, saya mau jadi Superwoman ataupun Chefess yang banyak bisanya!” katanya sambil menyantap nasi dengan sedikit ngegas dan banyak ngeyel. Tak ada yang bisa menahan tawa saat melihat ekspresinya yang manis, imut, dan agak lucu serta menggemaskan.
Suatu hari di sebuah pagi yang gerimis, Adik dengan raut wajah bingung ketika mendengar kami membicarakan perihal puasa dan puisi. “Kenapa kita tidak boleh makan siang?” tanyanya polos. “Ada apa dengan puisi yang kebanyakan isinya menyayat hati?” tambahnya lugas. Bapak dan Ibu saling lempar pandang, lalu menjelaskan dengan sabar. “Sahur itu untuk persiapan, Nak,” jawab Ibu sambil memekarkan senyum. “Puisi juga mungkin diciptakan untuk kekalahan dari pertarungan rasa” sahut Bapak dengan polesan nada sayang.
Di tengah riuhnya obrolan, gemuruhnya kicauan burung liar, senja yang lagi manja-manjanya, dan malam yang mulai bertandang, tiba-tiba Adik mencoba mengambil sambal menggunakan sendok yang terlalu besar. “Lihat, saya bisa jadi juru masak handal seperti para peserta yang mengikuti MasterChef Indonesia!” serunya riang, hebat. Namun, sambal justru tumpah ruah ke atas meja, membuat kami semua terbahak-bahak serta terpingkal-pingkal melihat tingkahnya.
Setiap sahur, kami selalu berkompetisi untuk menghabiskan nasi paling cepat, tepat. Bapak, yang dikenal sebagai ‘Raja Nasi’, selalu menang di tiap kompetisi pertandingan ini. Namun, kali ini Adik bertekad untuk mengalahkan Bapak dengan segala upaya tanpa lagi ia menghiraukan porsi tampungan di usianya, ususnya. “Saya pasti bisa tumbangkan Bapak!” katanya dengan penuh percaya diri yang menggebu-gebu dan tak tertolong kan lagi.
Ibu memutuskan untuk memasak menu baru dari daftar di dinding hariannya: nasi goreng dengan campuran sayur dan telur. Tak lupa juga, Ibu mempersiapkan bumbu-bumbu tradisional seperti kecap manis, garam, dan merica ataupun santan, kunyit, dan lada. “Ini rahasia dari nenek,” katanya penuh semangat, haru. Rasa nasi goreng itu begitu unik, membuat kami semua terkesan, terkesima. Bapak pun berkomentar, bangga; “Nasi goreng ini bisa jadi menu andalan kita sekeluarga, Makkk!”
Setelah dengan lahapnya menyantap sahur, perut kami terasa kenyang seperti buncit kayak orang-orang yang korupsi terliunan maupun penguasa yang serakah pada umumnya. Adik yang biasanya aktif, tiba-tiba terdiam, menguap, mengusap mata. “Kenapa saya jadi ngantuk ya Ma, Pa?” tanyanya. Kami semua tertawa terkekeh-kekeh, karena sepertinya kenyang itu membuatnya malas bergerak dan senangnya rebahan saja di kamar, surga hasil dari kreativitas nya sendiri.
Setelah sahur, bersetubuh dengan nasi dan lauk seadanya dari Ibu, kami berkumpul di ruang tamu, rapi. Bapak mengajak kami bermain permainan tradisional yang peninggalan dari Nenek moyang, Leluhur kampung. Suasana menjadi lebih sejuk, hangat, adem, dan tawa menggema di setiap sudut rumah dan ruang-ruang tanpa diterangi cahaya. Bapak mengingatkan; berbuka puasa dan sahur bukan hanya tentang makanan kesukaan, minuman favorit tapi juga tentang kebersamaan yang di raih bersama dengan orang-orang tercinta.
Hari pertama puasa selalu menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Adik terlihat khawatir dari raut mukanya. “Kenapa kita harus bangun pagi-pagi untuk makan sahur?” “Apa Adek bisa bertahan sampai berbuka puasa?” “Apa yang terjadi jika kita tidak berpuasa?” “Kenapa puasa itu penting bagi umat Islam?” “Apakah tradisi puasa juga sudah diwahyukan kepada Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad?” tanyanya banyak dan liar. Kami semua meyakinkannya bahwa puasa itu hukumnya wajib, untuk syarat wajib puasanya adalah Islam, baligh, berakal, dan mampu. Puasa juga ibadah yang menyenangkan, mengasikkan, dan kami akan saling mendukung, untuk saling menguatkan satu dengan lainnya.
Biasanya juga setelah bergegas dari sadar, sahur, dan sabar kami sering mendengar cerita lucu dari tetangga. Mereka berbagi pengalaman kocak, konyol selama rutinitas sahur berlangsung. “Tadi malam, saya hampir lupa menyalakan alarm dari nada dering memakai musik favoritku di handphone!” salah satu tetangga berteriak sambil tertawa. Suasana menjadi semakin meriah dan terang saat bulan telah beranjak dari kemurungan awan yang berhamparan.
Tetangga lain menyambungkan, sahur dengan nasi goreng: sahur tadi, anak saya yang masih kecil meminta nasi goreng sebagai menu sahurnya. Ketika saya bertanya apa yang ingin ditambahkan, anak saya menjawab, “Mama tambahkan saja ayam yang telah disuir-suir, telur yang sudah terpotong habis, teh sariwangi hangat, dan… alarm berbunyi!” tawa kami memecahkan dingin malam. Tetangga terakhir menimpali, sahur dengan kolak: saya membangunkan istri untuk sahur dengan membawa kolak. Istriku yang masih mengantuk bertanya, “Apa ini?” Saya menjawab, “Kolak, sayang.” Istriku kemudian bertanya lagi, “Kolak apa?” Saya menjawab, “Kolak pisang, sayang.” Istriku kemudian membalikkan badan dan berkata, “Aku tidak suka pisang, aku suka suami!” Tambahnya, menjelaskan dengan antusias.
Sebelum berpisah, kami mulai merencanakan menu buka puasa nanti. Ibu mengusulkan untuk membuat kolak ubi dengan melontarkan bahan apa saja yang harus di persiapkan: seperti ubi jalar, santan, gula merah, gula pasir, air, pandan, dan garam serta daun jeruk sebagai opsional. Sementara Bapak tak mau kalah, ia ingin menyajikan beberapa gorengan: semisal bakwan, pisang goreng, tahu goreng, gethuk, dan bala-bala serta ote-ote dan tak lupa pula di temani es teh manis maupun es kelapa muda. Adik pun ikut berpartisipasi dengan ide-ide konyolnya tentang makanan.
Pagi itu, setelah sahur yang khidmat dan keharmonisan hadir dalam suasana cerita yang mungkin saja tak mengenal tamat, kami kembali ke rutinitas masing-masing. Aku membaca ulang beberapa puisi karya Sastrawan terkenal Indonesia seperti Lagu Seorang Gerilya karya WS Rendra, Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini karya Taufiq Ismail, Pahlawan Tak Dikenal karya Toto Sudarto Bachtiar, dan Menatap Merah Putih oleh eyang Sapardi Djoko Damono serta Sajak Suara dari Wiji Thukul. Bapak pergi ke kebun untuk memenuhi janjinya, Ibu bersih-bersih rumah, dan Adik bermain di luar dengan teman-teman sebayanya. Namun, tawa dan kenangan sahur itu terus terbayang dalam pikiran kami hingga tua, hingga kini, beranak-pinak.
Sahur di Desa Watohari, Tanah Leluhur kami, selalu menjadi momen berharga yang tak terlukiskan, tak terlupakan. Dengan masakan Ibu, aroma bumbu dapur, obrolan ringan Bapak, dan keceriaan Adik-adik setiap hari saat Ramadhan tiba menjadi lebih berkesan, bermakna. Kami menantikan sahur berikutnya dan bulan Suci Ramadhan kesekian kalinya dengan penuh harapan dan tertawa lepas. Dari aku, sehat-sehat selalu Ibu, Bapak, dan Koala-koala lucu Kakak. Peluk hangat, sayang, dan cinta dari beda Pulau untuk kalian semua.