Oleh: Honing Alvianto Bana
SUARA TTS.COM | SOE – Persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan mendesak yang menuntut jalan keluar yang tepat. Sayangnya, didaerah kita, persoalan seperti ini dianggap bukan persoalan serius.
Kekerasan terhadap perempuan menjadi unik, karena seringkali berujung pada pemerkosaan dan pembunuhan. Tubuh perempuan dilecehkan sebagai tanda penguasaan dan penghinaan dari pelaku pemerkosa. Setelah terpuaskan, si pelaku pemerkosa seakan merasa tak berdosa.
Kita tentu geram serta merasa ngeri ketika membaca berita-berita terkait pemerkosaan yang terjadi di kabupaten TTS. Misalnya,
seorang anak berusia 6 tahun yang diperkosa oleh kakek kandungnya sendiri. (Suara TTS. Com 18/11/2022)
Pada bulan yang sama, seorang remaja putri asal Desa Skinu, Kecamatan Toianas, berinisial YN (16) diperkosa dan dibunuh oleh seorang pria berinisial AL. (Poskupang.com 20/11/2022)
Belum berhenti disitu, pada bulan agustus lalu, MN (20) seorang gadis disabilitas diancam dan diperkosa secara bergilir oleh empat pria asal desa Tubuhue, Kecamatan Amanuban Barat. (KataNTT.com 25/08/2022)
Tiga kejadian itu hanyalah beberapa kejadian yang saya jadikan sebagai contoh saja. Tapi sesungguhnya, kejadian serupa sangatlah banyak dalam masyarakat kita.
Dengan membaca sejumlah berita tentang kasus pemerkosaan, kita seringkali marah, dan menuntut keadilan bagi semua pihak. Namun, persoalan ini tetap saja muncul, bahkan dengan tingkat brutalitas yang semakin mengerikan. Kita lantas bertanya-tanya, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan hal ini?
Pendekatan legalistik
Pendekatan legalistik adalah pendekatan kuno yang sering kita gunakan saat mendekati permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosaan. Pendekatan kuno yang saya maksud adalah pendekatan dengan memberikan ancaman hukuman yang berat bagi pelaku.
Sekali lagi, bukan berarti pendekatan ini tak diperlukan. Yang saya maksudkan adalah pendekatan ini tidaklah mencukupi. Meski pendekatan hukum sudah berulang kali dilakukan, justru permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosa seakan tak pernah berhenti.
Hal itu karena pendekatan hukum selalu bersifat setelah kejadian, sehingga korban sudah menderita, baru pelaku bisa dihukum. Menurut saya, pendekatan legalistik, walaupun diperlukan, jelaslah tidak mencukupi.
Pendekatan Moralistik
Di sisi yang lain, kita juga cenderung mendekati permasalahan pemerkosaan dengan pendekatan moralistik. Artinya, kita memaksa perempuan untuk menutupi tubuhnya dengan alasan-alasan moral. Juga dengan berpijak pada moral, kita menghambat gerak perempuan, sehingga mereka, misalnya, tidak boleh pulang malam atau tidak boleh goyang (berjoget) saat mengikuti acara atau pesta.
Tapi pada saat yang sama, kita justru tidak mendidik para pelaku, yang biasanya adalah laki-laki, untuk mengenali dan mengelola dorongan-dorongan hasrat mereka.
Kita hanya sibuk dengan memberi himbauan-himbauan dan larangan-larangan moral yang biasanya bersifat agamis kepada perempuan semata.
Selain itu, tema seksualitas dan hasrat kenikmatan masih menjadi hal yang tabu dan tak pernah dibahas secara serius di dalam masyarakat kita. Ini jelas sebuah kesalahan besar.
Cara berpikir pemerkosa
Saat kita diperhadapkan dengan berbagai berita pemerkosaan. Ada satu pertanyaan yang sering kita ajukan. Pertanyaannya adalah, apa yang ada di pikiran para pelaku pemerkosa itu?
Jika kita tenang, dan diam sejenak untuk merenungi cara berpikir pemerkosa, kita tentu bisa menemukan jawabannya.
Kesalahan mereka tentu ada pada kesalahan berpikir. Mereka (pemerkosa) melihat perempuan sebagai benda yang bisa digunakan untuk kepuasan mereka. Perempuan dilihat bukan sebagai manusia, tetapi hanya sebagai obyek yang tak punya arti, kecuali arti pemberian kepuasan sesaat. Cara berpikir ini semakin diperkuat oleh kecenderungan berpikir orang jaman sekarang, yakni menyayangi barang dan menggunakan manusia, dalam hal ini perempuan.
Seorang filsuf asal Jerman, Immanuel Kant, dalam sebuah bukunya, ia pernah merumuskan imperatif kategoris sebagai panduan rasional untuk kehidupan moral manusia.
Butir kedua imperatif kategoris adalah melihat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri,dan bukan semata sebagai alat untuk tujuan-tujuan lainnya.
Para pemerkosa jelas tidak mengenal ajaran tersebut. Mereka tidak pernah melihat manusia lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai alat untuk pemuas hasrat gelap mereka.
Para pelaku ini tidak hidup dengan bimbingan akal sehat, melainkan dengan dorongan hasrat yang tidak pernah dikenali dan dikelola. Akhirnya, banyak orang tak bersalah menjadi korban dari kesalahan cara berpikir ini.
Di dalam teori Marxis, pola pikir ini biasa disebut juga sebagai reifikasi. Reifikasi artinya adalah pembendaan. Kita melihat dan memperlakukan manusia lain hanya sebagai bagian dari alat-alat produksi untuk peraihan keuntungan ekonomis. Logika pelacuran dan pemerkosaan tentu tidak lepas dari pola pikir reifikasi semacam ini.
Sesungguhnya, semua itu bukanlah sesuatu yang alami. Manusia tidak pernah terlahir sebagai pemerkosa, pelacur, pencuri, pembunuh dan lain-lain. Ini semua dibentuk dari budaya yang akhirnya berbuah menjadi kebiasaan.
Pertanyaan selanjutnya, masyarakat macam apa yang menghasilkan manusia-manusia pemerkosa semacam itu?
Masyarakat pemerkosa adalah masyarakat yang mengedepankan pendidikan hafalan dan kepatuhan buta, daripada pengertian dan berpikir kritis.
Masyarakat yang suka memaksa orang berperilaku tertentu atas dasar moralitas tradisional agamis, tanpa ruang untuk berpikir dengan akal sehat. Masyarakat yang lebih mementingkan hasil dan nilai, tanpa mau peduli pada proses. Masyarakat yang mengagungkan hal-hal teknis/ taktis dan mengesampingkan membedah/ mendiskusikan sesuatu secara mendalam.
Masyarakat yang melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua yang mesti di penjara, supaya tidak mengundang nafsu laki-laki. Masyarakat seperti ini, biasa kita kenal dengan masyarakat patriarki.
Tak heran, di dalam masyarakat semacam ini, pemerkosaan terus berulang. Semua ini dibarengi dengan semakin maraknya himbauan-himbauan moral agamis di berbagai mimbar dan media. Ini jelas sebuah kemunafikan yang menjadi akar dari beragam masalah.
Perubahan cara berpikir
Perubahan cara berpikir di dalam pendidikan jelas amat diperlukan di sini. Perubahan cara berpikir di dalam hidup bersama juga mutlak diperlukan, misalnya di dalam penguatan sistem hukum dan perubahan paradigma di dalam hidup bersama.
Kita perlu terbiasa mendiskusikan tema-tema yang selama ini kita anggap sebagai hal tabu. Hasrat dan seksualitas bukanlah tema tabu yang harus dilarang, melainkan harus disadari, dikenali dan kemudian dikelola.
Hanya dengan begitu, pemerkosaan bisa sungguh menjadi bagian sejarah masa lalu di dalam masyarakat kita. Sejarah yang panjang dan kelam, namun mengandung pelajaran berharga. Salam
Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe – NTT. Ia saat ini sedang menikmati pekerjaannya sebagai Panwaslu Kecamatan Kokbaun. Ia juga suka membaca dan menulis. Tulisannya terpercik dibeberapa media.