Oleh: Honing Alvianto Bana
SUARA TTS.COM – Penjilat itu naik pangkat lagi, padahal pekerjaannya berantakan. Ia bermulut manis dan pandai merayu atasan. Ia tidak hanya dimaafkan kesalahannya, tetapi juga diberi jabatan, melebihi teman-temannya yang lebih mampu.
Di tempat lain, anak dan saudara sang penguasa mendapat proyek dan jabatan penting. Padahal ia tidak berpengalaman. Ia tidak punya prestasi apapun. Semata karena lahir di tempat yang tepat dan menjadi anak atau saudara dari sang penguasa, akhirnya ia mendapatkan jabatan yang penting.
Birokrasi Parasit.
Pola semacam ini tidak asing di TTS dan mungkin di Indonesia. Hampir semua organisasi, terutama organisasi pemerintahan menerapkannya. Inilah yang biasa disebut sebagai kolusi dan nepotisme. Keduanya adalah ancaman bagi keberadaan sekaligus perkembangan sebuah organisasi. Organisasi pemerintah yang subur dengan kolusi dan nepotisme akan sulit menjalankan tugasnya. Itu terjadi, karena sumber daya manusia yang ada tidak mumpuni untuk menjalankan tugas-tugas yang diperlukan.
Kalau sebuah organisasi, atau aparatur sipil negara, tidak bisa menjalankan tugasnya, maka ia hanya menjadi parasit yang tak berguna. Ia terancam hancur, dan membawa kerugian bagi banyak orang.
Salah satu contohnya adalah kelalaian dari dinas PMD TTS yang berdampak pada ditundanya pilkades serentak sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakat di 136 desa di TTS. Hal ini hanyalah salah satu contoh paling faktual, dan belum ditambah dengan berbagai persoalan mendasar di TTS yang tak pernah selesai.
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, stunting yang tak pernah berkurang, meningkatnya angka perkawinan dini, tak terbendungnya angka putus sekolah, krisis air dan lain sebagainya adalah contoh lainnya yang terus mengepung TTS.
Deretan permasalahan diatas adalah contoh kongkrit dimana birokrasi pemerintahannya kemungkinan penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tak heran, jika kemiskinan dan ketidakadilan akhirnya menjadi bagian dari hidup sehari-hari di TTS.
Jalan Keluar.
Jalan keluarnya hanya satu, yakni mengubah tata kelola organisasi tersebut menjadi meritokrasi. Meritokrasi adalah tata kelola organisasi yang menjadikan kemampuan sebagai tolok ukur utamanya. Artinya, hanya orang-orang yang memang terbukti mampu yang layak untuk menduduki sebuah jabatan.
Dalam meritokrokasi, jilat atasan untuk mendapatkan kedudukan penting, atau karena kebetulan menjadi anak penguasa, serta berbagai taktik busuk lainnya tidak mendapat tempat di dalamnya. Untuk mencapai hal itu, ada tiga langkah yang bisa diambil, guna mencapai meritokrasi.
Yang pertama adalah menegaskan komitmen seluruh organisasi untuk berubah dan berkembang. Komitmen itu hanya dapat menjadi kenyataan, jika meritokrasi digunakan sebagai dasar utama semua pembuatan keputusan di dalam organisasi. Komitmen itu harus datang dari kepala daerah sampai dengan seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) di bawahnya.
Langkah kedua adalah mendapatkan informasi yang memadai tentang kemampuan orang-orang yang bekerja di organisasi terkait. Informasi ini amat penting, supaya orang dengan kemampuan tertentu bisa bekerja di bidangnya masing-masing yang sesuai. Perkembangan organisasi amat tergantung dari langkah ini.
Langkah ketiga adalah menerapkan meritokrasi secara konsisten dan terukur bagi keseluruhan organisasi, demi keberlangsungan organisasi itu sendiri dan kemajuan daerah.
Di kabupaten TTS, perlawanan pasti akan datang dari para pelaku kolusi dan nepotisme, serta orang-orang yang selama ini diuntungkan dari kedua hal tersebut. Namun, ini sama sekali bukan alasan untuk menyerah. Hal-hal terbaik dalam hidup selalu sulit untuk diperjuangkan. Meritokrasi pun begitu. Ia amat sulit untuk diwujudkan. Namun, ketika berhasil diwujudkan, jalan lapang menuju keadilan serta kesejahtraan masyarakat TTS akan terbuka lebar.
Honing Alvianto Bana. Lahir di Soe, Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di Komunitas Paloli TTS dan Pemuda Gereja GBKN.