BeritaOpini

Kabupaten Tanpa Cita-cita

5
×

Kabupaten Tanpa Cita-cita

Sebarkan artikel ini

Oleh: Honing Alvianto Bana

SUARA TTS.COM | SOE – Sebuah Kabupaten adalah fakta sekaligus cita-cita. Ia melibatkan kondisi nyata. Tetapi ia juga melibatkan harapan para warganya. Untuk itu pentingnya membicarakan arah pembangunan sebuah kabupaten, dalam hal ini Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur.

Pertanyaannya, mau dibawa ke arah mana pembangunan Kabupaten TTS?

Kita tahu, tujuan dibentuknya sebuah kabupaten adalah untuk kepentingan warganya. Yang dimaksud warga di sini bukanlah sekelompok orang yang memiliki modal kuat atau keluarga dekat sang penguasa, melainkan seluruh warga, lepas status sosial, ekonomi, politik, suku, ras, maupun agamanya. Untuk itu, pemda harus memiliki totalitas untuk membangun kabupaten TTS.

Kabupaten Tanpa Cita-cita

Apa jadinya kabupaten tanpa cita-cita? Yang terjadi adalah kabupaten sebagai panggung tempat menunjukan arogansi dan kekuatan politik. Penganiayaan yang dilakukan oleh salah satu anggota DPRD bersama istrinya terhadap seorang warga di desa Noemuke adalah salah satu contohnya. Selain itu, perseteruan antara Bupati dan DPRD yang akhirnya mengorbankan kepentingan masyarakat adalah contoh lain dari panggung pertunjukan arogansi politik di TTS.

Melihat berbagai kasus yang berulang seperti itu di TTS, kita akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa kabupaten ini ibarat tubuh tanpa jiwa. Masyarakat tidak punya ruang publik dalam arti spasial. Masyarakat juga tidak punya ruang publik dalam arti sosial-politik.

Kendaraan mewah para pejabat bertebaran di penjuru kabupaten, sedangkan banyak orang desa terpojok dan hidup dalam kesusahan. Sumur bor milik para pejabat pun hanya untuk kebutuhan kebun pribadi,tapi warganya dibiarkan hidup dalam kekeringan. Inilah yang terjadi pada kabupaten tanpa cita-cita.

Retorika para pejabat pun seringkali bertentangan dengan apa yang mereka lakukan. Akibatnya Kabupaten ini pun seakan kehilangan makna.

Kabupaten ini akhirnya menjadi ruang ekspresi kerakusan untuk semata mengeruk kekayaan dan mendaki gunung status sosial. Tidak ada solidaritas. Yang ada adalah kompetisi murni. Saingan adalah musuh yang mesti dilindas.

Kabupaten berubah menjadi kerajaan kerakusan. Kemajuan tidak didasarkan pada nilai-nilai luhur kehidupan, melainkan pada arogansi yang berbalut kehendak untuk mengeruk harta dan kuasa. Kabupaten tak lebih dari sekedar ruang untuk merebut tanpa memberi, merengkuh tanpa mencintai.

Secara fisik kabupaten yang tanpa cita-cita tidak enak dilihat. Gedung mewah pemerintah (kantor camat dll) bersanding dengan perumahan tak layak huni dipinggiran penjuru kabupaten. Selain itu, kasus kekerasan terhadap perempuan, stunting, kekeringan hingga korupsi menjadi hal yang biasa. Pemandangan ini tidak hanya mengganggu mata, tetapi juga membuat jiwa menjadi sesak. Kabupaten tanpa cita-cita tidak sehat untuk penghuninya.

Kabupaten tanpa cita-cita juga membuat penghuninya mengalami proses dehumanisasi. Ia kehilangan ciri kemanusiaannya. Ia kehilangan kebaikan hatinya. Yang tersisa adalah keganasan untuk meraup dan mengalahkan musuh.

Mobil dinas para pejabat melaju tanpa mempedulikan penghuni jalan yang lain. Para pejabat pun bertindak arogan. Orang-orang bertingkah seperti binatang. Bahkan binatang pun lebih beradab dibanding penduduk tanpa cita-cita yang telah kehilangan sisi manusianya.

Kabupaten tanpa cita-cita adalah ruang diskriminasi. tempat dimana masyarakat seringkali diancam dengan kuasa, jabatan, dan harta. Tak heran, banyak pemuda desa akhirnya memilih merantau dan bekerja ke negri-negri nun jauh ketimbang hidup di daerahnya.

Yang tampak dari hal-hal itu adalah ironi dalam bentuk diskriminasi. Para penghuni kabupaten tanpa cita-cita sudah cacat nurani. Semua itu saat ini sudah menjadi kondisi biasa yang telah membutakan nurani.

Totalitas pada Cita-cita

Pemda harus mencegah Kabupaten TTS menjadi kabupaten tanpa cita-cita. Selain itu,masyarakat pun harus ikut berperan serta secara aktif dan kritis untuk memberi kabupaten yang tercinta ini makna yang sepatutnya.

Untuk melakukan hal itu, diperlukan pendekatan yang holistik untuk menjadikan Kabupaten TTS menjadi kabupaten yang lebih bermakna. Paradigma holistik tersebut meliputi semua aspek kehidupan manusia yang menjadi ciri khas kemanusiaannya, termasuk di dalamnya budaya, politik, sosial, ekonomi, seni, pertanian, pendidikan, dan lain-lain.

Bidang-bidang tersebut harus menjadi fokus pemda dan warga untuk merangkai dan menata kabupaten. Tidak boleh ada bidang yang dianaktirikan. Tidak boleh ada bidang yang dianak emaskan. Hanya dengan begitu kabupaten TTS bisa bermakna bagi warganya.

Pemda dan warga perlu untuk kembali merefleksikan tujuan dan komitmen awal membentuk kabupaten, yaitu untuk kesejahteraan semua penghuninya dalam arti yang menyeluruh, dan bukan bidang-bidang tertentu semata. Tidak lebih dan tidak kurang. Tujuan dan komitmen tersebut perlu dihayati. Komitmen tersebut perlu untuk mendarah daging di sanubari pemda dan warga.

Saya percaya, hanya dengan begitu kita bisa membuat Kabupaten TTS menjadi sungguh bermakna. Yang juga berarti hidup kita semua menjadi bermakna.

*Honing Alvianto Bana, lahir di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di Komunitas Paloli TTS dan Komunitas Masyarakat Adat TTS.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *