Ket Foto : Natal bersama Bawaslu TTS
Oleh: Honing Alvianto Bana
SUARA TTS.COM | SOE – Demokrasi Indonesia terlalu ribut. Ribuan kata terucap. Namun sedikit yang menjadi nyata. Buih janji tersisa tinggal mimpi.
Ribuan argumentasi diajukan. Tiada yang meyakinkan. Yang tampak hanya arogansi. Hasilnya adalah kejenuhan demokrasi.
Demokrasi memang membutuhkan argumentasi. Namun argumentasi membutuhkan spiritualitas. Spiritualitas hanya bisa hidup di dalam refleksivitas. Dan refleksivitas terpelihara dengan baik di dalam kesunyian diri.
Demokrasi kita butuh diam sebentar. Bukan diam tanpa makna, melainkan diam untuk bercengkrama dengan kesunyian. Di dalam kesunyian kebenaran menjadi transparan. Kebenaran itulah yang membuat argumentasi menjadi bermakna.
Demokrasi dan Argumentasi
Nyawa demokrasi adalah argumentasi. Segala sesuatu menjadi tema pembicaraan. Beragam kepentingan yang berseberangan dijembatani dengan argumentasi. Kita berbicara maka kita ada, itulah diktum demokrasi.
Namun argumentasi berbeda dengan omong kosong. Argumentasi jelas berbeda dengan gosip. Argumentasi harus punya data. Argumentasi harus runut supaya bermakna.
Terlebih argumentasi harus berpijak pada permenungan. Di dalam permenungan refleksivitas terasah. Kemampuan untuk melihat diri dan orang lain secara kritis berkembang. Itu hanya bisa didapatkan, jika orang terbiasa di dalam kesunyian. Di dalam kesunyian cahaya kebenaran akan tampak.
Di Indonesia sekarang ini, kesunyian itu mahal. Orang berbicara tanpa makna. Kata-kata bertukar menciptakan kebingungan. Demokrasi terlalu ribut dengan kata.
Janji yang terluka adalah kisah demokrasi Indonesia. Politisi berbicara dengan mulut manis. Tapi itu pun hanya kata tanpa makna. Kejenuhan demokrasi terbaca di seluruh Indonesia.
Gosip lebih laku daripada argumentasi. Banyak keputusan politis didasarkan pada gosip, dan bukan pada nalar. Gosip membuat kata menjadi senjata yang menghancurkan.
Di Indonesia permenungan adalah sesuatu yang langka. Orang melarikan diri dari permenungan. Mereka tidak tahan melihat diri mereka sendiri di dalam permenungan. Orang merindukan suara walaupun suara yang didengar hanyalah omong kosong.
Orang menenggelamkan diri pada rutinitas. Hari libur adalah musibah. Maka mereka keluar rumah untuk menghindari permenungan. Kedangkalan hidup adalah buah dari kemiskinan permenungan.
Tanpa permenungan tidak akan refleksivitas. Orang takut melihat diri mereka sendiri. Pikiran pun semata menjadi teknis dan birokratis. Tidak ada kreativitas.
Tak heran kita selalu ketinggalan. Tak heran kita selalu menjadi budak teknologi. Tak heran pula kita hanya menjadi pengikut, dan tak pernah menjadi pelopor. Inilah kutukan bangsa yang semata berpikir teknis. Bangsa yang tak mampu melihat dirinya sendiri. Bangsa yang tidak reflektif.
Melampaui Kata
Tidak adanya refleksivitas adalah akibat dari tidak adanya kesunyian hati. Seolah bangsa ini alergi dengan kesunyian.
Televisi dinyalakan dengan volume tinggi. Musik diputar untuk mengusir sepi. Orang berjoget untuk mengusir kegelisahan diri. Politisi berkoar tanpa henti untuk mengusir ketidakberdayaan diri. Pemuka agama berkhotbah meyakinkan diri akan surga yang terus dinanti. Kesunyian hati dianggap sebagai perversi.
Tanpa kesunyian hati tidak ada refleksivitas. Tanpa refleksivitas tidak ada permenungan. Dan tanpa permenungan tidak akan ada argumentasi yang berarti.
Tanpa ada argumentasi yang berarti tidak akan ada demokrasi. Tanpa itu semua kita berpotensi untuk kembali jatuh ke dalam tirani. Itu sebabnya demokrasi pun membutuhkan kesunyian hati.
Honing Alvianto Bana. Lahir di Soe – NTT. Saat ini bertugas sebagai Panwaslu Kecamatan Kokbaun.