Ket Foto : Honing Alvianto Bana
SUARA TTS.COM | SOE –
I. Kenangan
Sedang apa kau hari ini? Mungkin kau sedang duduk seorang diri di teras rumah sambil meneguk secangkir teh. Saya bisa membayangkan teh buatanmu yang coklat mengenang kala itu, seperti kita yang sudah lelah dan basah dalam kenangan.
Saya berdiri disini, disebuah pertigaan, tempat masa lalu diikat tiang kenangan. Angin berhembus, tanah pucat, langit biru, dan jalanan sepi beberapa saat.
Saya masih bisa menghirup bau teh yang kau aduk dengan gula yang tinggal setengah sendok itu. Saya mengenang segala kenangan pahit itu, saat kita kehabisan gula dan kau mengumpulkan uang receh yang berhamburan diatas meja.
Nostalgia memang adalah tamu tak terduga. Ia seperti hujan yang turun disebuah tikungan dan kita berlari sambil bergandengan tangan. Di kios kecil ditepi jalan itu, saya dengar nafasmu memburu saat kita berteduh. Gelap menghampiri. Lampu-lampu menyala satu persatu.
Sedang apa kau hari ini? Mungkin sedang duduk di teras rumah sambil memangku anakmu yang manis itu. Di pertigaan ini, saya berdiri seorang diri. Menguyah kenangan sambil menatap orang-orang yang baru pulang dari tempat kerja.
Di teras rumah itu kau duduk sendiri. Saya berdiri di pertigaan ini. Kita pun menua. Sendiri-sendiri.
Soe, Oktober 2022
II. Di depan kios
Saya tidak menyangka, ada rindu yang tumbuh subur di sela pertemuan kita yang sebentar tadi. Saya kira hanya kata-kata biasa, seperti basa basi dalam pertemuan di simpang jalan.
Tapi pertemuan tadi adalah candu. Kata-kata yang terkesan biasa kau lontarkan itu, terdengar indah ditelinga ini. Mungkinkah saya tengah dilanda jatuh cinta?
Bunga-bunga bermekaran mewarnai langkah kaki, sajak-sajak berhamburan tak terkendali. Disini, saya merangkai diksi sambil memetik cantikmu untuk dijadikan puisi.
Saya seperti lelaki setengah gila yang berbicara dengan kaca,meraba-raba adamu di depan mata. Sibuk dengan kegugupan menyusun kata-kata agar tampak sempurna di depanmu.
Sebab, kau tau sendiri bukan? Kau saat ini tak hanya melekat dalam ingatan, tetapi telah tumbuh menjadi harapan.
Untuk itu, ijinkan saya memohon atas nama puisi, bisakah kita bertemu sekali lagi?
Soe, Oktober 2022
III. Sunyi
Kau labuhkan senyum yang belakangan ini perlahan menikamku dari sepotong waktu di suatu pagi daya mulai terusik dikemudian hari menyantap senyummu diam-diam yang tak pernah terlihat sebelumnya mungkin ada luka yang tersimpan disana
Atau gumpalan rindu terselubung
yang telah menyeret jarak dan rasa
sebab pada pagi berikutnya
waktu tak menawarkan lagi kesempatan
walau hanya saling melemparkan senyum
pagi itu nyeri merengutmu diam-diam
mengatarkan senyummu pada lautan sunyi
tanpa centang dua ataupun pesan.
Soe, Oktober 2022
IV. Pasrah
Saya sudah menyerah
maka salurkan pelan-pelan birahimu
Saya sudah terbaring
maka pasrahkan juga hatimu
Sebelum itu:
Tolong ikat kuat-kuat janjimu!
Soe, Oktober 2022
V. Rumah
mencintai engkau
pada musim yang tak mengenal
penghujan dan kemarau
tentang pohon lengkeng yang merimbun
tentang gemerisik daun sirsak yang mengalun
tentang gumpalan-gumpalan kabut yang menawan
di remang-remang pepohonan alpukat, seutas kenangan berjatuhan
berderai lepas dari deras arus ingatan
melubangi tanah-tanah basah
tempat induk ayam mengerami telurnya
pada setapak kecil menuju rumah
dengan gadis-gadis bergincu merah penuh kehangatan
disini
telah tercatat semua
keluh, gemuruh, dan rindu
yang telah berganti dekapan
Soe, Oktober 2022
VI. Warung kenangan
Kembali saya ke warung ini
Kembali memahat ingatan saya bersamamu
Kopi pun habis tak tersisa
Dulu saya mengira melupakanmu tak akan memakan waktu, tapi ketika saya kembali memasuki warung ini, masih segar senyummu dibenak ini
Dari dalam warung ini jiwaku kembali berseru:
Mungkin saya akan terus menulis puisi sampai jarum jam terpental oleh mimpi.
Soe, Oktober 2022
VII.Takdir
Pada jejak di pasir pantai saya berkaca, lantas belajar tahu diri. Bahwa pada akhirnya, jejak di pasir harus menerima takdir bahwa ombak adalah jodohnya yang abadi, bahwa gelombang pergi hanya untuk kembali.
Ia menerima takdir bawa Yang Sementara lah takdirnya: bila sewaktu-waktu ombak datang menjemputnya, memecah bentuknya, menggulungnya bersama buih-buih ke lautan, lantas membenamkannya jadi debu di dasar samudera, ia harus merelakannya.
Ia harus merelakan sekaligus mensyukuri takdirnya: Hidupnya hanya semntara tapi itulah yang ia punya. Jadi kini, saya membayangkan jejak di pasir tak peduli seberapa panjang umurnya, tak peduli berapa sisa waktunya, ia hanya tahu satu hal: ombak pasti menjemputnya.
Soe, Oktober 2022
VIII. Janda
Saya ingin mencintaimu, tanpa moral-moral sampah yang dianut para munafik.
Saya ingin tidur disampingmu, menikmati tubuh yang pernah dinikmati lelaki berlidah tiga.
Saya ingin memelukmu dengan erat, mengusap punggung yang pernah ditikam berkali-kali.
Saya ingin mencumbumu tanpa henti, berbagi malu dan hinaan yang pernah kau telan mentah-mentah.
Saya ingin hidup bersamamu, menggendong anak-anak yang pernah dikutuk masa lalu.
Apakah kau berkenan, Maria?
Soe, Oktober 2022
Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di komunitas paloli TTS dan pemuda GBKN.