BeritaOpini

Seleksi Panwaslu Kecamatan di TTS dan Transparansi Setengah Hati

3
×

Seleksi Panwaslu Kecamatan di TTS dan Transparansi Setengah Hati

Sebarkan artikel ini

Ket Foto : Aprianus Yunus Benu,SH

SUARA TTS.COM | SOE – Penyelenggaraan tahapan Pemilu serentak 2024 sudah dimulai sejak 14 Juni 2022 lalu. Salah satu tahapan yang sedang berlangsung saat ini adalah verifikasi faktual partai politik dan pada saat yang bersamaan Bawaslu Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) melakukan seleksi Panwaslu Kecamatan.

Kita semua tahu bahwa seleksi Panwaslu Kecamatan menjadi salah satu hal terpenting untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilu. Seleksi ini menentukan layak atau tidaknya  seseorang untuk menjalankan tugas dan fungsi pengawasan di setiap  Kecamatan yang tentunya ikut menyukseskan pemilu serentak di tahun 2024.

Seleksi panwaslu Kecamatan ini merujuk pada UU no 17 tahun 2017 tentang pemilihan umum, dan perbawaslu no 8 tahun 2019 tentang pembentukan, pemberhentian, dan pergantian antar waktu Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS).

Salah satu terobosan kreatif yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu dalam menyelenggarakan seleksi Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan (Panwaslu Kecamatan) tahun ini adalah penggunaan Computer Assisted Tes (CAT). Model tes berbasis komputer tersebut merupakan langkah maju yang perlu diapresiasi sebab dengan digunakannya mode tersebut, setidaknya mengurangi human error dalam proses seleksi. Sebab, sistem komputer tidak sama dengan cara kerja manusia. Komputer lebih bisa otonom  dalam menjamin kualitas kebenaran daripada pola kerja manusia.

Dalam konteks di atas, sistem algoritma yang dimiliki, jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan karena memiliki pola yang sistematis dan valid.

Sayangnya, penggunaan CAT pada seleksi Panwaslu Kecamatan di Kabupaten TTS kali ini terkesan hanya konversi dari tes manual ke komputerisasi. Peralihan tersebut tidak sungguh-sungguh dan menyentuh pada dimensi yang lain. Sebab, belum terlihat instrumen ikutan yang biasanya menyertai penggunaan CAT sebagai model tes.

Peralihan lainnya yang tidak tampak adalah jumlah nilai yang didapat oleh seluruh peserta tes. Akses publik terhadap hasil tes belum dapat terlihat secara jelas oleh publik.

Jika sejak awal, nalar kemampuan menjadi faktor determinan yang menentukan lolos dan tidaknya pendaftar, lalu argumen apa yang dibangun oleh komisioner Bawaslu TTS untuk menyembunyikan nilai tes di kolom pengumuman.

Tak heran banyak masyarakat dan peserta yang tidak lolos justru menaruh curiga pada lembaga yang seharusnya memegang teguh asas pemilu yang jurdil dan luber sesuai dengan bunyi UU No 7 tahun 2017, pasal 2.

Selain penguman hasil CAT yang tidak transparan, ada beberapa hal lain yang saya temukan dalam tahapan seleksi Panwaslu Kecamatan kali ini. Untuk keperluan itu, saya akan membedahnya satu per satu.

Yang pertama adalah tahapan sosialisasi. Tahapan ini adalah tahapan yang sangat penting jika kita sungguh-sungguh ingin agar proses seleksi Panwaslu Kecamatan di TTS dapat diketahui oleh seluruh masyarakat. Sayangnya,  sosialisasi yang dilakukan oleh komisioner Bawaslu Kabupaten TTS sangat tidak maksimal atau bisa dibilang hanya sebatas formalitas saja. Hal itu dapat kita lihat dari jumlah perempuan yang ikut mendaftar pada seleksi Panwaslu Kecamatan kali ini.

Berdasarkan data di akun Facebook Bawaslu Kabupaten TTS, tercatat jumlah perempuan yang mendaftar hanya 34 Orang dan yang lulus hingga akhir seleksi berjumlah 11 orang.  Padahal dalam pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 atau 11 UU 7/2017 mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Melihat hal itu, tentu keterwakilan perempuan di tingkat Kecamatan di TTS sangat mustahil terpenuhi.

Yang kedua, penelitian berkas administrasi pendaftaran calon anggota Panwaslu Kecamatan.

Kita semua percaya, bahwa kualitas Demokrasi ditentukan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Baik atau tidaknya suatu lembaga tergantung pada individu atau orang yang berada di dalamnya. Nah, untuk mencapai hal itu, tentu dibutuhkan orang-orang yang benar-benar berpengalaman dan memiliki integritas. Sayangnya, penelitian berkas administrasi calon anggota panwaslu Kecamatan di TTS hanya asal-asalan. Hal itu terlihat jelas dari 23 orang yang terpilih,  tapi tidak memiliki pengalaman organisasi dan pengalaman tekait pemilu

Pada titik inilah, integritas dari komisioner Bawaslu Kabupaten TTS diuji. Jika penelitian berkas memiliki nilai 20 % untuk menentukan seseorang lolos atau tidaknya pada tahapan selanjutnya, lalu argumen apa yang dibangun oleh seluruh komisioner Bawaslu TTS untuk meloloskan orang-orang seperti itu.

Ketiga, terkait tanggapan dan masukan dari masyarakat. Tanggapan dan masukan dari masyarakat menjadi penting sebab untuk menjadi lembaga pengawas pemilu yang dipercaya oleh seluruh masyarakat sebagaimana visi Bawaslu, maka tanggapan  dan masukan dari masyarakat perlu untuk dibuka selebar-lebarnya.

Sayangnya, tanggapan dan masukan dari masyarakat tak disampaikan dan disosialisasikan dengan baik. Jika memang komisioner Bawaslu TTS sungguh-sungguh ingin menerima tanggapan dan masukan dari masyarakat, maka seharusnya Bawaslu TTS bekerja sama dengan berbagai media lokal di TTS agar para calon anggota Panwaslu diketahui oleh khalayak umum.

Rekam jejak para calon anggota panwaslu di berbagai Kecamatan ini berhubungan langsung dengan integritas mereka. Untuk itu, perlunya keterbukaan oleh Bawaslu TTS agar  menghindari kecurigaan dari masyarakat terkait proses seleksi Panwaslu kali ini. Selain itu, jika keterbukaan untuk menerima masukan dan tanggapan dari masyarakat dilakukan maka Bawaslu TTS bisa mendapatkan anggota Panwaslu Kecamatan yang benar-benar memiliki integritas dan dipercaya oleh masyarakat TTS.

Keempat, tahapan pelaksanaan tes wawancara. Menurut saya, seleksi pelaksanaan tes wawancara ini adalah “ruang gelap”. “Ruang gelap” yang saya maksudkan adalah tidak adanya standar baku terkait penilaian wawancara. Memang ada empat aspek  yang digunakan dalam penilaian, tapi itu masih sangat umum . Oleh sebab itu, penilaian terkait wawancara ini menjadi sangat subjektif. Tak heran, banyak peserta yang gugur pada seleksi ini lantas mempertanyakan dasar penilaian yang digunakan oleh komisioner Bawaslu Kabupaten TTS.

Selain itu, jika para tim seleksi benar-benar ingin agar proses ini berjalan secara baik dan transparan, maka seharusnya tim seleksi mengupload video hasil wawancara ke akun youtube Bawaslu Kabupaten TTS.

Kalau hal itu dilakukan, maka proses seleksi ini akan benar-benar transparan dan tak menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Terakhir, tulisan ini adalah masukan sekaligus kritikan yang konstruktif untuk  komisioner Bawaslu Kabupaten TTS agar bisa mengevaluasi beberapa hal diatas.

Selain itu, saya juga ingin mengucapkan selamat atas pelantikan Panwaslu Kecamatan se-Kabupaten TTS yang telah dilaksanakan pada tanggal 27 Oktober 2022 lalu. Semoga kita semua diberi kesehatan untuk terus mengawal dan mengawasi setiap tahapan pemilu serentak ditahun 2024 mendatang. Salam

Penulis : APRIANUS YUNUS BENU, S.H Advocad, berdomisili di Soe 

Respon (1)

  1. Yap betul apa yang disampaikan beliau,,,
    saya pribadi sangat menyayangkan mengapa tidak menampilkan hasil scoring tes CAT pada saat pengumuman nya, padahal sangat mudah untuk menampilkannya,,, lalu dalam penilaian tes CAT, standar nilai yang harus lulus seleksi bobotnya berapa? Serta yang menjadi tolak ukur dalam tes wawancara itu apa saja, misalnya psikologi kah? Mental kah? Teamwork kah? Leadership kah?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *