Oleh : DON YESRIEL YOHAN KUSA BANUNAEK, ST., MT / MSF.
SUARA TTS.COM | SOE – Sejak mulai disebut dengan Nama SoE pada tahun 1905 saat survey wilayah tentara KNIL HINDIA BELANDA di kampung tradisional HUEMNEO , kota SoE terus mengalami perkembangan dari kampung tradisional hingga jadi kota moderen tahun 1920 resmi jadi ibu kota praja baru.
Kota ini telah menjadi tempat berbagai golongan masyarakat berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dan pusat pemerintahan Nederland Bestur dan Zelf Bestur. Sejak awal pendiriannya hingga menjadi Kota Ganda / Duality sebagai ibu kota praja ( simpul Nederland Indie dan Zelf Bestuur) hasil desainer controleur.
Sejak dikeluarkannya kebijakan politik pemerintah pusat Nederland Indie oleh Gubernur Jenderal tentang NEGARA KEMAKMURAN mengganti KULTUR STELSEL tahun 1903 untuk di berlakukan di seluruh wilayah Hindia Belanda ( Jawa – Tanah seberang ) maka setiap RESIDEN sebagai penguasa tertinggi di daerah mulai menindak lanjutinya dengan menempatkan Countroleur di setiap Afdeling / onder afdeling.
Tugas dan fungsi seorang Controlir di daerah adalah arsitek modernisasi pemerintahan di daerah dan disainer kota, selain tugas dan fungsi lainnya.
Berbicara tentang eksistensi kota praja
kota SoE bertalian dengan kedudukan CONTROLEUR dengan kehadiran Raja Amanatun-Onam (Kerajaan-Zelfbestur Landschappen Amanatun – Onam ), Raja Molo-Oenam ( Kerajaan-Zelfbesturr Landschappen Mollo), dan Raja Amanuban-Banam (Kerajaan-Zelfbesturr Landschappen Amanuban – Banam ) di kota SoE sebagai wujud konkrit pelaksaan sistem pemerintahan PATRON CLIENT dalam Tata Negara Pemerintah HINDIA BELANDA kota ini.
Nama So’E sendiri berasal dari bahasa Timor ( uab meto) yang berarti timbah atau menimbah. Bermula dari patroli / survey wilayah seorang tentara kolonial yang bertemu dengan seorang perempuan pribumi yang sedang menimbah air di mata air atau sumber air Oe Nakan / oe’naen ( yang kemudian disebut Oe Besi –kepala air karena kemudian sumber air ini digunakan mesin, pipa).
Tentara kolonial ini menanyakan tentang apa nama tempat ini namun karena perbedaan bahasa dan dialog sehingga perempuan pribumi ini menjawab bahwa saya sedang menimbah air ( soe oe ) dengan menggunakan bahasa Timor ( uab meto) yakni au soe oe. Yang ditangkap oleh tentara kolonial ini adalah kata SoE ( Huemneo) .
Kemudian tentara kolonial ini melaporkan kepada pemimpinnya di tangsi Noetoko ibukota Afdeling North Midden Timor bahwa nama tempat yang ia kunjungi itu bernama SOE. Adapun nama tempat ini ( kota SoE) awalnya bukan bernama Soe tetapi Huemneo ( Soe-oenaen / hue mneo-ma fafi nisin atau Soe-Oe Naen//Hu’e Mneo – Ma Fafi Nisin. )
Dari tutur ini bisa dipastikan posisi Kota SoE .
Kota SoE resmi menjadi pusat pemerintahan onder affdeling Zuid Miden Timor ( federasi onder afdeling Miden Timor ibu kota KAPAN dan onder afdeling Zuid Miden Timor ibu kota NIKI-NIKI) sejak Sonaf dan kantor landshap / swapraja Raja Amanatun, Raja Amanuban, Raja Molo dibangun di Kota SoE tahun 1920.
Adapun Implementasi persetujuan controleur dengan raja Kolo Banunaek , raja Pae Nope untuk pindah ke Kota SoE sebagai KOTA PRAJA BARU adalah Raja Mollo Lay Akun Tabelak Oematan memberi tanah kampung Amanatun Oetimu, Oekefan, Oeklani kepada Raja Amanatun.
Raja Molo Lay Akun Tabelak Oematan berkenan memberikan tanah di kota SoE ( kampung Amanatun ) kepada Raja Amanatun Kolo Banunaek untuk mendukung Raja Molo Lay Akun Tabelak Oematan untuk memilih dan menetapkan kota SoE sebagai pusat pemerintahan Zuid Midden Timor.
Raja Molo sejak awal sudah menyetujui untuk SoE dijadikan pusat ibu kota Praja ( gabungan Midden Timor dan Zuid Miden Timor )
Pada saat itu pemerintah Hindia Belanda melalui conttrolirnya De Gezagheebber van Zuid Midden Timor ( w.g) J. Venema meminta kepada Raja Amanuban, Raja Molo dan Raja Amanatun untuk bisa menyepakati suatu tempat untuk dijadikan pusat pemerintahan baru Zuid Miden Timor ( Federasi Midden Timor dan Zuid Midden Timor ) Raja Amanuban Pae Nope ( Pae Nope) tetap berkeinginan untuk menjadikan kota Niki-niki sebagai pusat pemerintahan Zuid Miden Timor tetapi Raja Molo Lai Akun Tabelak Oematan ( W.F.H.Oematan) juga bersih keras untuk menjadikan kota Kapan sebagai pusat pemerintahan Zuid Miden Timor.
Raja Amanatun Kolo Banunaek saat itu tidak bisa mengajukan pilihan karena wilayah Amanatun belum memiliki akses dan saat itu Niki-niki menjadi kantor bersama Raja Amanatun dan Amanuban ( Sejak Raja Amanatun Muti Banunaek, Raja Kusa Banunaek dan Raja Amanuban Raja Bill Nope, Raja Noni Nope). Akibat Raja Amanatun Kolo Banunaek ( Abraham.Zacharias -Kolo Banunaek) mendukung Raja Molo Lay Akun Tabelak Oematan yang sejak awal sudah medukung Controleur, maka akhirnya kota SoE disepakati secara bersama oleh ketiga Raja ini untuk menetapkan kota SoE sebagai pusat pemerintahan Zuid Midden Timor , kota praja kota ganda.
Pola dan morfologi sosial mempunyai peranan penting dalam dinamika masyarakat kota SoE. Sejarah sosial kota SoE menunjukan proses penyesuaian ketiga kelompok penduduk kerajaan dalam situasi kolonial. Kampung Amanuban (yang kemudian menjadi kampung Sabu), Kampung Mollo yang kemudian sebagiannya menjadi kampung Rote) dan Kampung Amanatun merupakan kawasan-kawasan pembentuk KOTA SOE.
Banyak kreatif maupun destruktif dalam hubungan dialektik dan komunikasi yang telah terjadi antara penguasa kolonial Belanda dan raja-raja ( Banam, Oenam, Onam ) / sebagai pemerintahan pribumi lokal yang mengawali penetapan kota Soe sebagai pusat pemerintahan / kota praja saat itu. Saat itu pusat kerajaan Amanuban di Niki-niki, pusat kerajaan Mollo di Kapan dan pusat kerajaan Amanatun di Nunkolo.
Raja – raja ini kemudian membangun Istana / Sonaf dan kantor pemerintahan mereka di Kota SoE / kota praja duality sebagai pusat pemerintahan Zuid Midden Timor saat itu. Raja Amanuban – Banam membangun Istana / Sonaf di Kampung Amanuban ( kemudian berganti nama menjadi kampung Sabu ) tepatnya di Penjara lama kampung Sabu dikelilingi oleh pegawai-pegawai kerajaan dan juga rakyat yang menyertai Raja. Raja Molo ( Oenam ) juga membuat Istana / sonaf di Kampung Mollo ( kemudian berganti nama menjadi kampung Rote ) , Sedangkan raja Amanatun – Onam membuat Istana / Sonaf di kampung Amanatun dan juga kantor nya. Pemerintah Hindia Belanda saat itu melalui Coutroleurnya di Zuid Midden Timor bersama dengan para raja menjadikan Kota SoE sebagai dengan pusat pemerintahan / kota prajanya.
Secara terirotial maka posisi tiga pusat kerajaan yang berjauhan ini ( Sonaf Nunlolo, Sonaf Niki- niki dan Sonaf Ajobaki Kapan ) mengakibatkan pengawasan dan kontrol pemerintah Hindia Belanda kepada aktivitas raja Amanatun, Amanuban, dan Mollo ini menjadi tidak maksimal. Kota SoE yang sudah dikenal sejak tahun 1905 ini menarik untuk dikaji, karena dalam perkembangannya kota ini pada awalnya merupakan suatu tempat biasa kampung tradisional Huemneo di wilayah Kerajaan Amanuban yang hanya menjadi tempat berhenti dan melepaskan lelah dari berpergian yang tidak begitu menjadi perhatian namun kemudian didesain oleh Controleur kemudian ditetapkan menjadi kota Praja yang diawasi oleh pemerintah Kolonial.
Ada dua kekuatan kepentingan yaitu kekuatan tradisional dan kekuatan kolonial bertemu di kota ini. Kurun waktu awal abad ke XX merupakan masa proses pasifikasi Hindia Belanda serta pengaruh politik dan ekonomi kolonial di Indeling Timor en Onder horikheden yang membawahi dua Afdeling di pulau Timor yaitu Afdeling ZUID TIMOR EN ERLANDEN KUPANG ibu kota Kupang dan Afdeling North Midden Timor ibu kota NOETOKO saat itu. Suatu proses yang menimbulkan perubahan dan pembauran.
Di abad XIX struktur politik ketatanegaraan cenderung ke struktur konfederasi. Merupakan konvensi yang harus ditaati oleh masing-masing kerajaan pribumi karena dalam politik kekuasaan raja-raja perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda lebih besar ditunjukan untuk menguasai orang dibandingkan dengan wilayah. Ini semata-mata menyangkut masalah harga diri dan bukan semata-mata penguasaan territorial.
Dengan mempelajari dan memahami perkembangan sejarah kota SoE sebagai kota duality / ganda diharapkan menjadi suatu referensi perbandingan dalam mempelajari jalur-jalur pertumbuhan dan perkembangan kota sebagi kesatuan sosial cultural . Hal ini penting karena kota adalah inti dalam system jaringan yang saling berkaitan dalam dinamika sejarah.
Dengan menggunakan konsep sejarah kota dengan memperhatikan karya-karya sejarah yang telah lolos kritik uji keaslian dan kebenaran maka ada tiga pengertian yang saling melengkapi yakni :
1. Dalam pengertian sejarah masyarakat kecil terpinggirkan dan termarjinalkan yang sering melahirkan gerakan sosial yang luas spontan dan berakhir dalam waktu singkat
2. Karya yang menguraikan tentang keanekaragaman aktifitas dan fungsi manusia yang sukar untuk dijelaskan dalam istilah-istilah seperti kebiasaan, adat istiadat, atau kehidupan sehari-hari kota
3. Konsep sejarah sosial dikombinasikan dengan sejarah ekonomi, politik , sosial budaya kota.
Dari suatu kota yang sedang tumbuh dan berkembang kita dapat melihat sejarah lokal yang berhubungan dengan kelompok penduduk dan masyarakat karena dalam sebuah kota yang berkembang selalu ada hubungan secara sinergis antara konteks sosial, politik dan kebudayaan.
Manuskrip para pendeta Nederlandsch Zendeling mencatat dengan jelas exixtensi kota SoE saat pasfikasi kedatangan mereka di Kapan. Seperti H Kraijer van Aalst 1916 dan juga
Pieter Midelkop oktober 1922.
Tahap-tahap perkembangan kota SoE berawal dari pengaruh situasi kolonial seperti pembangunan jalan, taman kota dan ruang terbuka kota berbentuk segitiga sama kaki dengan ditandai penanaman pohon beringin, pembangunan kantor pemerintah kolonial , rumah ‘ rumah pegawai pemerintah Hindia Belanda dan tempat tinggal – rumah controlir Belanda, Kemudian pembangunan sonaf-sonaf di kampung Amanuban (kemudian berubah nama menjadi kampung Sabu), Kampung Mollo dan Kampung Amanatun sebagai tempat tinggal raja dan kantor kerajaan ( kantor Landschap) serta pemukiman masyarakat etnis lokal dan pembesar-pembesar kerajaan, pembangunan jalan penghubung dalam kota, land use.
Dengan dibangunnya kantor Landschappen Amanatun, Landschappen Amanuban dan Landschappen Mollo di kota SoE tahun 1920 maka dengan demikian system pemerintahan sudah mulai mengikuti dan meniru cara Barat. Aktivitas pemerintahan pribumi tidak lagi di Sonaf-sonaf tetapi sudah di kantor Landschappen ( kerajaan).
Kota SoE kemudian menjadi pusat pemerintahan asing kota ganda / duality yang merupakan bagian yang lebih luas dalam kompleks politik kolonial. Posisi kota SoE kemudian menjadi kota transit persinggahan akses Timor – Barat dalam tautan kota-kota di pulau Timor karena iklimnya yang mendukung. Golongan imigran baru mulai berdatangan menjadi penduduk kota SoE yang kemudian mendorong kegiatan perdagangan didalam maupun antar kota dan kawasan. Orang-orang Tionghoa berhasil mengisi peran ekonomi yang tidak diisi oleh orang-orang Belanda dengan membentuk kampung Cina sekaligus bermukim pedagang-pedagang Tionghoa sepanjang jalan utama dari Timur ke Barat kota SoE.
Pada 17 Nopember 1927 kota SoE dikunjungi Gubernur Jenderal A C de Graeff .
Ditahun 1930-an proses modernisasi di kota SoE sudah mengubah masyarakat tradisional pribumi kearah modern dan proses ini mendapat dorongan kuat dari pembangunan yang sedang dilakukan pemerintah kolonial Belanda di kota SoE. Berbagai pengembangan sarana prasarana infrastruktur seperti transportasi, komunikasi, birokrasi, serta pendidikan yang diadakan saat itu untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan masyarakat.
Pada sisi lain, pergolakan dan perubahan struktur sosial yang menyangkut status dan fungsi mulai pula terjadi. Dalam situasi seperti ini bermunculan golongan-golongan terpelajar yang berpendidikan Barat yaitu golongan elit modern yang aktif melakukan perubahan dan mendorong masyarakat kearah kemajuan.
Situasi di kota SoE sangat berpengaruh pada golongan elite di wilayah Zuid Midden Timor karena kota Soe mempunyai kedudukan yang sangat penting karena selain sebagai ibu kota Praja atau pusat pemerintahan Zuid Midden Timor juga menjadi pusat pendidikan. Oleh karena itu kota SoE mulai banyak dihuni oleh pendatang-pendatang baru atau hominess novi yang sebagian besar sebagai pegawai pemerintah, pendeta dan guru.
Golongan-golongan pendatang baru yang elit ini telah mengenyam pendidikan barat dan mulai mempengaruhi terjadinya perubahan dalam masyarakat lokal pribumi dalam bentuk sikap, pandangan serta ide-ide baru. Mereka mencoba memajukan masyarakat lokal pribumi yang lugu melalui bidang adat istiadat moderen, agama ( sending protestan) dan pendidikan. Pendidikan barat menimbulkan pergeseran peran dan fungsi dalam lembaga – institusi lama ke lembaga baru, bahkan golongan-golongan pendatang elit modern ini ingin menggantikan peran serta fungsi sebagai pemegang pimpinan. Di kota SoE politik kolonial dan system pendidikan barat merupakan pendorong terjadinya proses pergeseran status dan fungsi dalam system pemerintahan / birokrasi dan struktur sosial.
Bertalian dengan kota SoE yang menjadi kota bersama , kota duality, kota Ganda Praja Landschappen ( kerajaan) Amanuban, Landschappen ( kerajaan) Molo dan Landschappen ( kerajaan) Amanatun dengan daerah sekitarnya kawasan kampung Amanuban, kawasan kampung Mollo dan kawasan kampung Amanatun disebut “kota” – sejak berdirinya 1920 berada dalam pengawasan penguasaan kolonial. Residen Timor Indeling Timor en Onderharikheden saat itu tuan A.H.Spaan sebagai pemerintahan puncak keresidenan Timor berkedudukan di Kupang saat itu membawahi dua afdeling di pulau Timor yaitu
Afdeling ZUID TIMOR EN ERLANDEN KUPANG yg membawahi onder afdeling Kupang ( kerajaan Amarasi dan Federasi Kupang ibu negeri di Kupang ) .
Afdeling North Midden TIMOR ibu negri di Tjamplong membawahi empat onder afdeling yaitu
Onder afdeling MIDDEN TIMOR ( Kerajaan Molo ibu negeri KAPAN )
onder afdeling North Miden Timor ( kerajaan Miomafo , Biboki, Insana ibu negeri NOETOKO).
Onder afdeling BELU ( Kerajaan TASI FETO dan TASI MONE ibu negeri di ATAMBUA ). Onder afdeling west miden Timor ( kerajaan Fatu leu dan Amfoan ), ibu negeri Tjamplong. Dan onder afdeleling ZUID MIDDEN TIMOR ( KERAJAAN AMNUBAN DAN AMANATUN ibu Negeri di NIKI’NIKI.
Dari sudut sejarah politik ketatanegaraan HINDIA BELANDA terlihat pentingnya menelisik hubungan kontrak politik / korte veklaring kerajaan Belanda dan Raja Mollo dari Landschappen Mollo (10 Mai 1916), Raja Amanuban dari Landschappen Amanuban dan Raja Amanatun dari Landschappen Amanatun secara bersama-sama di Niki-niki (Raja Kolo Banunaek 24 Pebruari 1923), Raja Muti Banunaek II ( 27 juli 1908), Raja Kusa Banunaek ( 30 september 1916), Raja Bil Nope ( 1 juli 1909), Raja Noni Nope ( 18 Maret 1912 ) Raja Pae Nope ( 24 Pebruari 1923). Kontrak politik ini menentukan kedudukan pemerintahan swapraja/ landshap di seluruh Indonesia dengan pemerintahan Hindia Belanda ( Nederland Indie) khusus nya mengenai Patron – clien.
Jabatan seorang Resident di Timor saat itu merupakan wakil pemerintahan pusat sebagai penguasa pemerintah tertinggi di daerah dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jenderal. Dibawah Resident ditempatkan seorang kontrolir sebagai pegawai pemerintah Belanda yang mengontrol kekuasaan di afdeling dan onder affdeling. Sistim pemerintahan di daerah tidak langsung dilaksanakan oleh pemerintah kolonial akan tetapi memberi kesempatan kepada penguasa pribumi yakni raja-raja untuk tetap menjalankan pemerintahannya berdasarkan orientasi tradisional, sedangkan pada posisi lain pemerintah kolonial ingin menerapkan pemerintahan yang legal rasional sebagai sistim birokrasi modern. Sifat dualistik seperti ini menyebabkan baik pemerintah Belanda maupun pada pemerintah pribumi raja-raja harus menyesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan politik sebagai sistem Politik PATRON CLIENT berdasarkan kesetiaan.
Pemerintahan pribumi yang dipegang oleh Raja selaku penguasa lokal setempat disebut juga pemerintahan bumi putra. Penguasa tertinggi adalah raja yang berdasarkan hukum asli dan harus mendapat persetujuan secara resmi oleh pemerintah kolonial.
Pada tahun 1920 Raja Kolo Banunaek Raja Amanatun dan Raja Pae Nope Raja Amanuban setuju permintaan Controleur sebagai pemerintah kolonial / NI Belanda di daerah dan bersamaan dengan peristiwa ini juga resmi nya ditetapkannya kota SoE sebagai pusat pemerintahan KOTA PRAJA Onder affdelling Zuid Midden Timor yang baru.
Awal kota Soe sebagaimana ciri-ciri kota-kota lama berdiri di pusat pemerintahan yang berfungsi memberikan perlindungan kepada penduduknya.
Awal pusat kota SoE menjadi titik simpul yang jadi pusat KOTA PRAJA adalah penyelenggaraan zelf bestuur bukan lagi berpusat di Sonaf tapi sudah di KANTOR LANDSHAP
Sonaf -sonaf raja dan kantor swapraja nya yang di bangun di Kampung Mollo, kampung Amanuban, dan kampung Amanatun ) menjadi tempat tinggal raja sang penguasa lokal dan kantor pusat berlangsungnya zelf besturnya.
Puncak hirarki lokal pemerintahan lokal tetap diduduki oleh raja sehingga pusat pemerintahan ada dalam KANTOR SWA PRAJA, raja dan kawasannya.
Pusat kota SoE menjadi pelabuhan atau tempat pertemuan antara kekuasaan raja-raja sebagai pemerintahan lokal daerah – pribumi dan pemerintah pusat kolonial Hindia Belanda resmi terjadi pada TAHUN 1920.
Dipusat kota SoE dibangun kantor pemerintahan Hindia Belanda Onder Afdeling sejak tahun 1912 yang dipimpin oleh seorang Controlir ( pengawas) juga juga ruang terbuka kota berbentuk segi tiga sama kaki. Tata fungsi aktivitas , Tata massa , Tata sirkulasi , node, Land Use, Jaringan jalan raya utama Timur-Barat , utara – selatan yang digunakan untuk mobilitas aksebilitas keluar masuk kota SoE membagi kota Soe menjadi dua zoning.Ada bagian dari penguasa pribumi / Zelf Bestur dan ada bagian dari cipta karsa Nederlands Bestuur Kolonial sebagai Selain jalur utama juga dibangun jalan penghubung untuk lalulintas penduduk setempat dengan trase melalui kampung Amanuban, kampung Mollo, Kantor countroleur, tugu Betrix, Rumah jabatan Countroleur, dan kampung Amanatun.Stratifikasi sosial ( layer ) dan ide masyarakat di kota Soe berhubungan erat dengan kedudukan Sonaf tempat tinggal raja Amanatun di kampung Amanatun, Raja Mollo di kampung Mollo dan Raja Amanuban di kampung Amanuban di kota Soe. Ini digambarkan dalam bentuk segitiga sama kaki dan penanaman pohon beringin di pusat kota lama Soe. Posisi ujung segitiga bagian Timur ditempati raja Banunaek dari kerajaan Amanatun. Ujung segitiga bagian selatan ditempati raja Nope dari kerajaan Amanuban sedangkan ujung segitiga bagian utara ditempati raja Oematan dari kerajaan Mollo. Di tengah squart ditanam POHON BERINGIN sebagai LANDMARK KOTA GANDA SOE.
Perkembangan masyarakat kota Soe sebagai usaha rekonstruksi sejarah sosial kota akan memberikan gambaran tentang perubahan dan proses sejarah kota Soe sebagai kota tradisional dan kota kolonial dalam perjalanan menjadi sebuah kota modern masa depan. Keberhasilan rekonstruksi kota Soe diharapkan memberikan sumbangan pemahaman tentang kedudukan kota Soe didalam sejarah yang menarik dikaji. Pemahaman sejarah kota sendiri berarti pendalaman pengertian tentang dinamika sejarah.( MSF)