BeritaOpini

Mental Feodal dan Kebiasaan ” jilat atas, injak bawah”

9
×

Mental Feodal dan Kebiasaan ” jilat atas, injak bawah”

Sebarkan artikel ini

Oleh: Honing Alvianto Bana

SUARA TTS.COM | SOE – Masyarakat feodal selalu menghasilkan manusia dengan dua tipe mental. Pertama manusia bermental atasan, kedua manusia bermental bawahan.

Manusia tipe pertama selalu ingin ada di posisi atas. Ia ingin dihormati dan didengar oleh manusia tipe bawahan. Ia juga tidak suka jika ada sesamanya yang lebih maju atau lebih baik darinya. Ia akan merasa tersaingi.

Sedangkan manusia kedua, ia selalu tidak punya rasa percaya diri dan merasa rendah diri. Ia menerima dan betah berada dibawah. Ia seringkali dituntut untuk bersikap sopan oleh manusia tipe pertama, meski sedang diperlakukan secara tidak adil. Contohnya, protes masyarakat adat saat menolak perampasan tanah oleh pemerintah yang dianggap tidak sopan. Padahal, orang melakukan protes itu karna berhubungan dengan alat produksi yang selama ini mereka gunakan untuk bertahan hidup.

Struktur Feodal

Bangsa Indonesia telah merdeka selama 77 tahun, berbagai agama dan ajaran pun telah kita terima. Sistem demokrasi pun demikian. Sayangnya, praktik budaya peninggalan sistem feodalisme masih ada yang tersisa. Sistem ini harus kita deteksi, lalu kita tolak dalam bentuk apapun.

Jika dulu, ada rakyat jelata yang ingin bertemu dengan seorang raja, ia harus menunduk atau berlutut. Saat ini, budaya seperti ini pun masih ada. Hanya saja, berubah model dan bentuk. Budaya feodal seperti ini biasanya dipelihara dengan baik oleh sekian elite penguasa di daerah kita.

Pada zaman penjajahan dulu. Saat para penjajah (kolonial) datang, sebagian raja mengambil keuntungan dari struktur feodal di masyarakat. Para penjajah tidak akan mencopot raja, selama ia masih mau mengabdi pada kepentingan mereka.

Akhirnya, rakyat jelata diperas oleh para bangsawan yang bekerja sama dengan penjajah. Jadi, penjajah memeras para bangsawan, dan para bangsawan ini memeras rakyat jelata.Kira-kira seperti itulah strukturnya, sehingga rakyat semakin tertindas.

Nah, biasanya orang yang tertindas akan musnah sisi kemanusiaannya. Sifat manusianya hilang, yang tersisa adalah sisi kebinatangnnya. Jika dalam keadaan miskin, mereka mudah bermusuhan dengan sesamanya. Saling curiga, saling intai, bahkan sampai “saling tikam dari belakang”.

Pemimpin Feodal dan Kebijakannya

Sejujurnya, sistem feodal masih sangat kuat didaerah kita. Sistem ini biasanya dipelihara secara diam-diam oleh sekian politisi dan elite penguasa di daerah kita.

Untuk mendeteksi keberadaan sistem feodalisme yang masih sangat kuat ini, kita bisa mendeteksinya lewat setiap steatmen, dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Mereka, seringkali membuat aturan yang tak kelihatan secara kasat mata. Aturan-aturan ini biasanya dibuat seolah-olah berpihak kepada masyarakat lokal. Padahal, kebijakan itu hanya untuk melenggengkan posisi mereka dalam sistem feodal yang ada.

Perbub dan perda yang dihasilkan untuk mengatur tentang pemilihan kepala desa di TTS adalah salah satu contohnya. Perda dan perbub yang dihasilkan tersebut sangatlah rancu. Tak heran pada pilkades kemarin banyak masyarakat mengajukan protes karna terjadi multitafsir dalam memahami regulasi tersebut.

Nah, karna didaerah kita masih  masih di dominasi oleh politisi feodal seperti ini, maka tak heran, jika pembangunan di berbagai daerah selalu berjalan lambat selama mereka berkuasa.

Melambatnya pembanguan, salah satu faktornya karna mereka tak punya komitmen untuk mengurusnya secara serius. Para politisi dan pemimpin feodal lebih suka mempertahankan posisi mereka, ketimbang sibuk mengurus masalah-masalah yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Salah satu contohnya adalah mengelola pariwisata didaerah kita.

Seringkali, para pemangku kepentingan ini tak punya komitmen untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) lewat sektor pariwisata. Lihat saja, berbagai potensi wisata kita masih minim promosi, tak ada analisis pengunjung, fasilitas yang rusak dan terbengkalai diberbagai objek wisata adalah contoh-contohnya.

Tampilan website pemerintah daerah pun sangatlah jelek dan jarang terupdate secara berkala. Padahal, website pemerintah daerah adalah rujukan untuk mencari informasi tentang  daerah.

Selanjutnya, dengan melihat pemerintah daerah yang terkesan lambat dalam menghadapi berbagai masalah, bolehkah kita mengkritisi? Boleh saja. Demokrasi menginsyaratkan hal tersebut untuk melakukan kontrol kepada pemerintah. Hanya saja, kita harus berani menerima konsekuensi saat mengajukan kritik kepada pemerintah daerah. Hal ini perlu diingat karena pemerintah daerah kita, kebanyakan dikuasai oleh tokoh-tokoh bermental feodal. Mereka siap menggunakan semua komponen kekuasaan yang dimiliki untuk menyingkirkan siapapun saat mereka salah ataupun kalah dalam berargumen.

Biasanya, disaat sudah kalah, ada sebagian orang-orang yang datang menjilat pemimpin dan tokoh-tokoh feodal ini dengan mencari pembenaran bahwa, “Orang ini layak disingkirkan dengan segala cara karena tidak sopan pada pimpinan”.

Jadi, saat-saat seperti itulah pertemuan antara pemimpin-pemimpin bermental feodal menyatu dengan bawahan-bawahan yang bermental feodal pula.

Orang-orang bawahan yang bermental feodal ini, seringkali berpikir bahwa para pemangku kebijakan tidak pernah salah. Akhirnya, kebiasaan “asal bapak senang” itu dilakukan oleh mereka secara berulang-ulang tanpa merasa berdosa.

Kebiasaan “jilat atas dan injak bawah” itu pun kita lihat hampir setiap hari. Orang-orang sibuk dengan sopan-santun kepada para elite, tapi sangat ganas ketika berhadapan dengan masyrakat bawah (baca: masyarakat miskin dan masyarakat desa).

Disisi yang lain, para pemangku kebijakan kita juga pintar bersandiwara. Dihadapan publik, mereka bertutur begitu indah dengan menggunakan diksi-diksi agama dalam setiap pertemuan, tapi dalam hatinya tersembunyi keangkuhan yang luar biasa.

Menjadi Manusia Merdeka

Kalau dulu, kekuasaan dipegang oleh raja dan keluarganya. kini, kekuasaan ada ditangan kaum terdidik dengan mental feodal. Sama seperti raja tempo dahulu, banyak dari mereka juga arogan. Selalu ingin dihormati dan di dengar.

Mereka juga pandai berselingkuh dengan siapapun, asal menguntungkan. Tak peduli dengan kesusahan yang dialami oleh masyarakat, terutama masyrakat miskin dan masyrakat desa. Mereka juga akan berusaha untuk melanggengkan sistem feodal yang buruk itu. Intinya, pola yang mereka gunakan sama seperti jaman kolonial, mereka kehilangan aspek kemanusiannya.

Struktur feodal semacam ini masih sangat kuat di daerah kita. Hanya rupa dan bentuknya saja yang berbeda.

Bagi saya, kita harus menjadi manusia merdeka. Merdeka itu adalah saat kita berhasil bebas dari paham purba dan kolot semacam ini.

Kita menghargai setiap orang dengan tulus karna kita setara sebagai manusia dihadapan Tuhan. Bukan menghargai orang karna status bangsawannya atau kemampuan ekonominya.

Jadi, sudah saatnya kita mendeteksi, menyadari dan perlahan-lahan meninggalkan sistem dan mental feodal ini. Sistem dan mental ini seringkali bersembunyi dengan sangat rapi dalam kebudayaan kita sehingga tidak kita sadari.

Menurut saya, sudah saatnya kita meninggalkan sistem dan mental ini. Kebiasaan saling curiga, ingin mengalahkan sesama, dan kebiasaan “jilat atas injak bawah” itu perlu kita tinggalkan.

Kita tak perlu lagi ingin menang-menangan, apalagi dengan sesama saudara sendiri. Lalu menekan dan menyuruh orang lain yang lebih kecil untuk berlaku sopan-santun. Cukup kita saling menghargai, saling mendukung, dan tak perlu saling menaklukan. Salam

Honing Alvianto Bana. Lahir di Soe – Nusa Tenggara Timur. Ia suka membaca dan menulis. Ia juga suka melamun. Tulisannya terpercik dibeberapa media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *