Oleh: Honing Alvianto Bana
“Catatan kecil ini saya persembahkan untuk para kepala desa terpilih di TTS yang baru saja di lantik pada 10 Agustus 2022.”
SUARA TTS.COM | SOE – Kalau kita berkunjung ke banyak desa di TTS, kita pasti akan melihat jembatan mangkrak, posyandu yang tak terawat, atau bangunan publik lainnya yang lapuk tak terpakai. Kita pun bisa bertemu bak air umum atau instalasi pengolahan air bersih yang masih terpelihara, tetapi sudah menjadi milik pribadi, juga berbagai kelompok yang bubar begitu program yang membentuknya selesai.
Pembangunan di desa sangat banyak di TTS, kaya dengan barang dan kelompok peninggalan program seperti ini, yang mungkin sudah dilaporkan sebagai bukti keberhasilan dari proyek-proyek yang menopang mereka.
Pemborosan semacam ini sudah terjadi puluhan tahun setelah berlakunya UU Desa yang diterapkan sejak 2015. Puluhan triliun Dana Desa yang dianggarkan setiap tahun, sebagian mungkin akan menguap sia-sia, jika uang itu dimaksudkan untuk ‘investasi’ bagi peningkatan taraf hidup masyarakat desa secara menyeluruh—dan berlangsung demikian secara lestari. Uang sebanyak itu akan terus terbuang percuma bila kita tidak mengenali deretan penyebabnya, kemudian berusaha mengatasinya.Salah satu dari penyebab itu ialah defisit kerja kolektif (collective action).
Kerja kolektif adalah tindakan terkoordinasi yang melibatkan sekelompok orang dengan kepentingan bersama dan untuk tujuan bersama; biasanya dilakukan secara sukarela—untuk membedakannya dengan kerja upahan atau kerja paksa. Bentuknya bisa beragam mulai dari pengambilan keputusan bersama, membuat aturan kolektif, menerapkan atau mejalankan keputusan, hingga memonitor kepatuhan terhadap aturan bersama.
Masing-masing anggota dapat berkontribusi dalam beraneka ragam bentuk: tenaga, uang atau barang. Tujuan bersama bisa diusahakan atau dikerjakan langsung oleh para anggota atau diwakili oleh para perwakilannya atau bahkan staf berbayar.
Kembali ke desa, barang-barang yang lapuk terabaikan, fasilitas umum yang terprivatisasi, kelompok-kelompok yang buyar, sebenarnya bisa bertahan lama sebagai milik bersama jika warga dapat bekerja bersama dalam jangka cukup panjang untuk memanfaatkan dan merawatnya. Tetapi, justru kerja kolektif semacam itulah yang seringkali alpa.
Mengapa itu terjadi?
Sejak tahun 2020, setelah menyelesaikan study dan kembali ke TTS, saya bergabung dan terlibat dalam sejumlah organisasi dan komunitas lokal yang memperkuat dan merajut kerja kolektif masyarakat di beberapa desa di TTS. Dari sana saya mendapatkan sejumlah jawaban tentang bagaimana kecenderungan kerja kolektif masyarakat desa, dan mengapa itu terjadi. Saya menemukan setidaknya tiga pola.
Pertama, kerja kolektif kurang tampak pada kegiatan berjangka panjang, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Dalam beberapa kali mengikuti berbagai pertemuan dan musyawarah desa, saya menemukan bahwa suara perempuan dan orang muda sama sekali tidak terdengar dalam musyawarah desa dan musyawarah rencana pembangunan desa. Forum-forum itu lebih didominasi oleh tokoh-tokoh masyarakat, yang kebanyakan laki-laki dewasa.
Dalam bidang ekonomi, kelompok-kelompok tani lebih berperan aktif ketika menyambut uang/barang bantuan dan menciptakan ketergantungan, daripada menjadi wadah membicarakan dan menyelesaikan persoalan bersama. Sebagian masyarakat bahkan memandang kelompok tani sebagai wadah para elite, baik desa maupun supra-desa untuk menyerap uang atau barang bantuan bagi kepentingan sendiri atau lingkaran mereka.
Kedua, kerja kolektif lebih tampak pada kegiatan-kegiatan yang bersifat jangka pendek, dan kebanyakan terbatas pada hajatan kultural yang berhubungan dengan siklus hidup. Misalnya, kerja kolektif dalam pesta pernikahan, membangun rumah baru, permandian, atau kematian. Pada kesempatan seperti itu warga bisa dengan sangat cepat berkumpul. Kerja kolektif jangka pendek juga tampak dalam mengatasi ‘masalah’ yang sudah terlanjur muncul dan dirasakan banyak orang—semisal memperbaiki jalan tanggul yang rusak akibat longsor atau banjir.
Ketiga, kerja kolektif jangka panjang hanya tampak dalam bidang keagamaan seperti pembangunan gereja dan atau kelompok doa. Kerja kolektif dalam jangka cukup panjang juga tampak dalam beraneka ragam arisan yang lazimnya diselenggarakan oleh kaum perempuan dalam skala kecil.
Bagaimana kita menafsir pola seperti ini?
Teka-teki ini sebagian dapat kita jawab kalau melihat siapa yang memprakarsai kegiatan-kegiatan tersebut. Kerja jangka pendek di seputar ritual siklus hidup maupun kerja kolektif berjangka nisbi panjang berupa arisan dan pembangunan gereja merupakan prakarsa warga sendiri, tumbuh dalam kerangka informal. Sementara kerja kolektif di bidang ekonomi dan politik semisal menjalankan koperasi, kelompok tani atau badan usaha bersama lebih banyak datang dari luar, sebagian besar bersifat lebih formal.
Saya bukan hendak mengatakan bahwa model-model ekonomi yang diperkenalkan dari luar itu sudah keliru sejak awal, tetapi defisit kerja kolektif di bidang ekonomi ini berhubungan dengan cara dan saat mereka diperkenalkan dan dijalankan di desa. Kegiatan-kegiatan ini kebanyakan masuk ke desa ketika ketidakpercayaan warga pada institusi formal maupun non-formal yang dibawa oleh berbagai lembaga dari luar desa sedang berada di titik rendah, dan sebagian besar tanpa kajian awal yang memadai.
Ketidakpercayaan masyarakat ini berangkat dari pengalaman buruk dengan pranata formal yang diinisiasi oleh pihak luar. Kecenderungan ini sudah terjadi setidaknya sejak masa Orde Baru.
Dalam sebuah esai di Asian Journal of Law and Society yang terbit tahun 2017 dari Jacqueline Vel, Yando Zakaria, dan Adriaan Bedner, menyebut betapa sejak rezim Orde Baru berkuasa, program-program pemusatan kuasa berlangsung intensif. Kepala desa tidak lagi dipilih tapi ditunjuk dari atas, banyak dari mereka yang ditunjuk adalah pengikut setia rezim. Bersamaan dengan itu, partai politik hanya boleh mengorganisir sampai ke tingkat kabupaten, tidak boleh sampai ke desa. Dana desa disalurkan lewat kabupaten: alokasinya diatur dari pusat dan tiba sebagai anggaran kabupaten untuk didistribusikan ke desa menurut kebijakan pemerintah kabupaten.
Lewat UU No. 5/1979, desa resmi diletakkan sebagai satuan administratif terbawah, cabang dari pemerintahan kecamatan, dengan tugas resmi untuk menyokong program-program pertumbuhan ekonomi, pemerataan, stabilitas, dan keamanan yang diselenggarakan pemerintahan pusat. Sentralisasi semacam ini pelan-pelan menggerus kemampuan dan kebiasaan warga untuk berkumpul membicarakan isu bersama.
Selepas kurun otoriter Orde Baru, ketika harapan masyarakat sedang meninggi oleh perubahan politik nasional, masyarakat desa kemudian disuguhkan rentetan janji yang tak ditepati, baik oleh orang-orang yang mewakili institusi eksekutif maupun legislatif formal. Forum musrenbang misalnya, membuat masyarakat desa jera karena usulan-usulan yang mereka rapatkan tak mendapat jaminan akan ‘tembus’ ke level kabupaten dan menjadi kenyataan pada tahun berikutnya.
Akibatnya, masyarakat tidak percaya lagi pada pertemuan seperti itu. Seorang kepala desa yang sudah tercerahkan sekalipun, setelah dua tahun menerapkan UU Desa, masih kesulitan memanggil masyarakatnya untuk datang dan bersuara dalam musyawarah desa. Tapi temuan saya di berbagai desa lebih banyak mengungkap bahwa yang lebih banyak terjadi ialah aspirasi masyarakat marjinal lebih sering tak menemukan ruang untuk menjadi agenda musyawarah pengambilan keputusan desa.
Di sini tampak kesan bahwa sebenarnya, lewat beraneka mekanisme dan aturan, warga diarahkan untuk lebih berkonsentrasi mengurus kebutuhan pribadi dengan cara masing-masing.
Oleh sebab itu, saya menyarankan pentingnya prakarsa warga dalam mengembangkan kerja kolektif. Dalam konteks inilah, menurut saya, pengorganisasian rakyat sangat dibutuhkan. Demi membangun kembali kemampuan menjalankan aksi kolektif rakyat dibutuhkan proses panjang penghimpunan aspirasi dan pengetahuan masyarakat untuk merumuskan prakarsa-prakarsa bersama. Prakarsa ini harus berangkat dari isu-isu nyata yang dirasakan bersama oleh masyarakat, memanfaatkan kekuatan dan potensi yang dimiliki masyarakat secara kolektif.
Dari sana kita bisa berharap muncul komitmen untuk melakukan tindakan-tindakan kolektif berjangka panjang. Praktik itu, bila bertahan cukup lama, dapat membentuk pranata baru (atau menempa ulang pranata lama) yang berperan melayani semua lapisan sosial masyarakat, merawat fisik dan fungsi harta bersama yang dihasilkan oleh tindakan kolektif tersebut, dan menyusun rencana-rencana berjangka panjang untuk mengantisipasi masalah-masalah nyata yang mereka hadapi.
UU Desa 2014 sudah menyediakan sejumlah piranti untuk melangsungkan pengorganisasian masyarakat. Di sana ada sejumlah mekanisme demokratis untuk pemilihan jajaran kepemimpinan desa, ada musyawarah desa yang bisa digunakan untuk menghimpun suara masyarakat, terutama untuk menjamin aspirasi kelompok-kelompok marjinal. Juga ada klausul tentang usaha ekonomi bersama (Badan Usaha Milik Desa).
Tapi tantangan antara lain datang dari badan-badan pemerintah level supra-desa yang merumuskan sekian banyak aturan yang sangat menghambat proses demokratisasi.
Proses penyusunan rencana (kegiatan) pembangunan desa, misalnya, butuh rangkaian kajian dan rapat yang panjang. Dalam keadaan banyak desa belum benar-benar pulih dari ekosistem yang menekan kerja kolektif, kepatuhan terhadap mekanisme administratif Dana Desa menambah tekanan bagi warga dan pemerintah desa. Proses membangun kembali kerja kolektif terpaksa harus dipangkas menjadi super ringkas. Padahal proses pemulihan itu sendiri bisa berlangsung bertahun-tahun.
Demi menjalankan mekanisme demokratis yang dipancang oleh UU Desa dibutuhkan warga yang terbiasa duduk bersama, berdebat, melihat sekian banyak data dan argumen, untuk mencapai keputusan yang jitu dan tepat sasaran. Mereka perlu kembali membangun adat untuk membicarakan isu ekonomi-politik bersama—sehingga menciptakan kultur transparansi—demi mencapai kesepakatan yang bermanfaat bagi semua kelompok masyarakat. Kebiasaan itu bisa dibangun lewat UU Desa, tetapi sulit dengan berlapis-lapis mekanisme dan aturan turunannya yang mengekang.
Demi memastikan semua orang menerima manfaat dari setiap sumberdaya publik, puluhan triliun Dana Desa terbelanjakan tanpa menghasilkan bekas atau barang yang terprivatisasi, rakyat desa butuh semua pihak untuk memfasilitasi mereka mengorganisir diri dalam kerja-kerja kolektif berjangka panjang, terutama dalam urusan ekonomi dan politik.
**Honing Alvianto Bana. Lahir di Soe, Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di Komunitas Masyarakat Adat (Pokja OAT), Komunitas Embun Molo, dan Komunitas Paloli TTS.