Berita

Kumpulan Puisi Karya Honing Alvianto Bana

5
×

Kumpulan Puisi Karya Honing Alvianto Bana

Sebarkan artikel ini

Ket Foto : Honing Alvianto Bana

SUARA TTS.COM | SOE –

I. Kenangan

Sedang apa kau hari ini? Mungkin kau sedang duduk seorang diri di teras rumah sambil meneguk secangkir teh. Saya bisa membayangkan teh buatanmu yang coklat mengenang kala itu, seperti kita yang sudah lelah dan basah dalam kenangan.

Saya berdiri disini, disebuah pertigaan, tempat masa lalu diikat tiang kenangan. Angin berhembus, tanah pucat, langit biru, dan jalanan sepi beberapa saat.

Saya masih bisa menghirup bau teh yang kau aduk dengan gula yang tinggal setengah sendok itu. Saya mengenang segala kenangan pahit itu, saat kita kehabisan gula dan kau mengumpulkan uang receh yang berhamburan diatas meja.

Nostalgia memang adalah tamu tak terduga. Ia seperti hujan yang turun disebuah tikungan dan kita berlari sambil bergandengan tangan. Di kios kecil ditepi jalan itu, saya dengar nafasmu memburu saat kita berteduh. Gelap menghampiri. Lampu-lampu menyala satu persatu.

Sedang apa kau hari ini? Mungkin sedang duduk di teras rumah sambil memangku anakmu yang manis itu. Di pertigaan ini, saya berdiri seorang diri. Menguyah kenangan sambil menatap orang-orang yang baru pulang dari tempat kerja.

Di teras rumah itu kau duduk sendiri. Saya berdiri di pertigaan ini. Kita pun menua. Sendiri-sendiri.

Soe, Oktober 2022

II. Di depan kios

Saya tidak menyangka, ada rindu yang tumbuh subur di sela pertemuan kita yang sebentar tadi. Saya kira hanya kata-kata biasa, seperti basa basi dalam pertemuan di simpang jalan.

Tapi pertemuan tadi adalah candu. Kata-kata yang terkesan biasa kau lontarkan itu, terdengar indah ditelinga ini. Mungkinkah saya tengah dilanda jatuh cinta?

Bunga-bunga bermekaran mewarnai langkah kaki, sajak-sajak berhamburan tak terkendali. Disini, saya merangkai diksi sambil memetik cantikmu untuk dijadikan puisi.

Saya seperti lelaki setengah gila yang berbicara dengan kaca,meraba-raba adamu di depan mata. Sibuk dengan kegugupan menyusun kata-kata agar tampak sempurna di depanmu.

Sebab, kau tau sendiri bukan? Kau saat ini tak hanya melekat dalam ingatan, tetapi telah tumbuh menjadi harapan.

Untuk itu, ijinkan saya memohon atas nama puisi, bisakah kita bertemu sekali lagi?

Soe, Oktober 2022

 

III. Sunyi

Kau labuhkan senyum yang belakangan ini perlahan menikamku dari sepotong waktu    di suatu pagi daya mulai terusik dikemudian hari menyantap senyummu diam-diam yang tak pernah terlihat sebelumnya mungkin ada luka yang tersimpan disana

Atau gumpalan rindu terselubung

yang telah menyeret jarak dan rasa

sebab pada pagi berikutnya

waktu tak menawarkan lagi kesempatan

walau hanya saling melemparkan senyum

pagi itu nyeri merengutmu diam-diam

mengatarkan senyummu pada lautan sunyi

tanpa centang dua ataupun pesan.

 

Soe, Oktober 2022

IV. Pasrah

Saya sudah menyerah

maka salurkan pelan-pelan birahimu

Saya sudah terbaring

maka pasrahkan juga hatimu

Sebelum itu:

Tolong ikat kuat-kuat janjimu!

 

Soe, Oktober 2022

 

V. Rumah

 

mencintai engkau

pada musim yang tak mengenal

penghujan dan kemarau

tentang pohon lengkeng yang merimbun

tentang gemerisik daun sirsak yang mengalun

tentang gumpalan-gumpalan kabut yang menawan

di remang-remang pepohonan alpukat, seutas kenangan berjatuhan

berderai lepas dari deras arus ingatan

melubangi tanah-tanah basah

tempat induk ayam mengerami telurnya

pada setapak kecil menuju rumah

dengan gadis-gadis bergincu merah penuh kehangatan

disini

telah tercatat semua

keluh, gemuruh, dan rindu

yang telah berganti dekapan

Soe, Oktober 2022

 

VI. Warung kenangan

Kembali saya ke warung ini

Kembali memahat ingatan saya bersamamu

Kopi pun habis tak tersisa

Dulu saya mengira melupakanmu tak akan memakan waktu, tapi ketika saya kembali memasuki warung ini, masih segar senyummu dibenak ini

Dari dalam warung ini jiwaku kembali berseru:

Mungkin saya akan terus menulis puisi sampai jarum jam terpental oleh mimpi.

Soe, Oktober 2022

VII.Takdir

Pada jejak di pasir pantai saya berkaca, lantas belajar tahu diri. Bahwa pada akhirnya, jejak di pasir harus menerima takdir bahwa ombak adalah jodohnya yang abadi, bahwa gelombang pergi hanya untuk kembali.

Ia menerima takdir bawa Yang Sementara lah takdirnya: bila sewaktu-waktu ombak datang menjemputnya, memecah bentuknya, menggulungnya bersama buih-buih ke lautan, lantas membenamkannya jadi debu di dasar samudera, ia harus merelakannya.

Ia harus merelakan sekaligus mensyukuri takdirnya: Hidupnya hanya semntara tapi itulah yang ia punya. Jadi kini, saya membayangkan jejak di pasir tak peduli seberapa panjang umurnya, tak peduli berapa sisa waktunya, ia hanya tahu satu hal: ombak pasti menjemputnya.

Soe, Oktober 2022

VIII. Janda

Saya ingin mencintaimu, tanpa moral-moral sampah yang dianut para munafik.

Saya ingin tidur disampingmu, menikmati tubuh yang pernah dinikmati lelaki berlidah tiga.

Saya ingin memelukmu dengan erat, mengusap punggung yang pernah ditikam berkali-kali.

Saya ingin mencumbumu tanpa henti, berbagi malu dan hinaan yang pernah kau telan mentah-mentah.

Saya ingin hidup bersamamu, menggendong anak-anak yang pernah dikutuk masa lalu.

Apakah kau berkenan, Maria?

 

Soe, Oktober 2022

Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di komunitas paloli TTS dan pemuda GBKN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *