Oleh Stanislaus stan
Kupangonline.com-KETUA DPW partai Perindo Propinsi NTT sudah gagal besar menahkodai partai Perindo di NTT . Pada Pemilu ( pileg ) 14 Februari 2024 lalu , DPW PERINDO NTT telah gagal mempertahankan jumlah kursi DPRD propinsi yang pada pileg 2019 mengantongi 6 Kursi DPRD Propinsi , pada pemilu 2024 malah kehilangan 5 kursi , artinya 83% kursi hasil 2019 telah berhasil dihilangkan pada pileg 2024 .
Ini tentu bukan sebuah sekedar gagal saja, tapi sangat menyedihkan dan secara politik ini tentu sebuah tamparan hebat bagi seluruh kader dan simpatisan partai Perindo di NTT.
Kegagalan ini tentu ada hubungannya dengan management pengelolaan partai yg dinahkodai oleh Ketua DPW. Ada begitu banyak kebijakan ketua DPW yang tidak populis dan bahkan kontoversial dengan kondisi politik lokal di setiap kabupaten, sebut saja beberapa poin,
- Jauh sebelum penjaringan nama bacaleg DPRD kabupaten,Ketua DPW menginstruksikan bahwa semua bacaleg wajib mengumpulkan uang 200 juta per orang dan uang itu nanti akan dikumpulan di DPD, dan saat menjelang pemilu uang tersebut akan dibagikan kembali ke masing masing caleg untuk biaya saksi dengan catatan, bahwa akan mengikuti strategi dari Ketua DPW.
Terhadap hal ini, kita semua di DPD dan semua bacaleg menentang ini. Setidaknya ada beberapa alasan kenapa kita menentang.
- Bahwa kebijakan ini sangat bertentangan dengan semangat kita memerangi politik uang ( money politics )
- ini justru sebuah pembenaran anggapan masyarakat bahwa hanya orang orang yang berduit yang bisa berpolitik, sehingga berakibat pada mental masyarakat yang memilih karena uang, dan juga berakibat pada apatisme anak muda untuk berpartai politik dan atau berpolitik. Kita semua ketahui kondisi kita di negeri ini bahwa Partai Politik mengalami degradasi trust ( kemerosotan kepercayaan ) dari masyarakat. Sehingga kita DPD Perindo saat itu mengabaikan instruksi ketua DPW.
- Jauh sebelum pemilu, semua DPD diperintahkan untuk segera memasukan nama nama kader partai Perindo yang akan siap bertarung pada PILKADA 2024. Dan syarat mutlak untuk nama nama yang dikirim (TIDAK BOLEH AMBIL FIGUR DARI LUAR KADER PARTAI PERINDO).
Tegas dalam pernyataan Ketua DPW bahwa Partai Perindo tidak mengusung figur dari luar kader partai Perindo. Dan terhadap hal tersebut kita dari semua DPD Perindo SE NTT sudah mengirim nama nama dimaksud, dan ada beberapa ketua DPD yang menyatakan diri siap maju bertarung , termasuk saya selaku Ketua DPD Perindo Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Dan sebagai konsekwensi dari kebijakan ini, pada saat pileg, ada begitu banyak figur dari luar partai yang ingin menawarkan diri untuk beri sumbangan atau bantuan baik materil maupun non materil untuk menenangkan partai Perindo pada pileg 2024, dengan harapan akan diusulkan namanya sebagai salah satu kandidat yang akan bertarung pada pilkada, dan ini praktek normal yang biasa dilakukan di semua partai politik, namun terhadap hal ini, kami di DPD tentu tidak berani menerima tawaran bantuan tersebut, karna kita takut berhutang Budi dan mengecewakan figur figur yang dimaksud, karna kami patuh terhadap instruksi ketua DPW.
Ini tentu secara politik sangat merugikan partai, karna menutup peluang orang diluar kader partai yg berniat memenangkan partai pada pertarungan pileg. Namun realitas yang terjadi saat ini, malah berbanding terbalik.
DPW mengeluarkan perintah untuk menjaring bacabup dan bacawabub di setiap DPD / setiap kabupaten kota dan bersifat terbuka untuk umum , terhadap hal ini, kami berpandangan bahwa, Tindakan ketua DPW ini adalah sebuah tindakan pengkhianatan terhadap seluruh pengurus DPD SE NTT, karna ada beberapa orang ketua DPD yang sudah dari awal menyatakan diri untuk bertarung pada pilkada 2024, karna ada sebuah jaminan dari DPW bahwa tidak akan mengusung figur dari luar kader partai, kecuali ada DPD yang memang tidak ada satupun kader yang siap bertarung.
Ini tentu sebuah sikap inkonsistensi yang sangat tidak pantas ditiru, karna akan berakibat runtuhnya kepercayaan para kader terhadap partai PERINDO.
- DPD tidak diberi kewenangan untuk ikut merekomendasikan siapa bacabup dan bacawabub yang akan diusung, DPD hanya bertugas menerima pendaftaran secara bebas dan terbuka untuk umum, lalu akan diwawancarai di DPW, untuk kemudian direkomendasikan ke DPP, padahal yang mengenal kondisi politik di setiap kabupaten kota adalah kita pengurus DPD. Dan kita tentu tau harus mengusung siapa dan harus berkoalisi dengan siapa, karna PILKADA adalah moment kita bisa memilih pemimpin yang tentu kita di kabupaten yang tau figure mana yang akan mampu menjawab segala kebutuhan masyarakat di kabupatennya masing masing. Bahwa keputusan akhir dan penetapan adalah kewenangan mutlak DPP, tapi paling tidak DPD ikut memberikan rekomendasi, tapi yang dilakukan di NTT, semua bacabup yang sudah daftar diwawancarai di DPW tanpa melibatkan para ketua DPD. Ini tentu konyol ,materi wawancara yang dipakai menggunakan cara apa dan indikator penilaian apa? Sementara kondisi sosiologis masyarakat di setiap kabupaten berbeda beda ada apa dengan semua ini?
Saya patut menduga ada sesuatu yang patut dicurigai. Dan saya sangat berharap untuk para kader partai Perindo yg kebetulan ingin bertarung, bahwa mari kita pastikan bahwa tidak ada syarat nominal tertentu untuk disetor ke DPW, kecuali itu sebuah keputusan DPP yg secara resmi harus disampaikan kepada seluruh DPD partai Perindo Se Indonesia .
Kalau memberi syarat untuk figure dari luar kader partai silahkan saja, tapi klu syarat yang sama diberlakukan terhadap kader sendiri, saya pikir, kedepan tidak akan ada orang yang mau mengurus partai Perindo jika kemudian untuk mendapat tiket maju pilkada saja syarat tetap harus bayar kursi sendiri, keringat sendiri harus dibayar. Ini sudah tentu akan berpotensi tingginya apatisme masyarakat untuk menjadi pengurus partai Perindo, karna pada akhirnya hanya sebuah pengkhianatan yang DPD dapatkan. Padahal yg bekerja membesarkan partai adalah DPD, menggunakan kekuatan sendiri di masing masing kabupaten kota Mulai dari proses verifikasi partai sampai pemilu.
Saya ungkapkan semua ini sebagai bentuk kecintaan saya terhadap partai Perindo .
Saya harap DPP segera menanggapi ini dan segera mengevaluasi kinerja DPW NTT Terhadap kegagalan besar pada pileg kemarin.
Partai Perindo ini secara level kabupaten sudah mendapatkan tempat di hati masyarakat NTT, tingal kita butuh pemimpin ( DPW ) yang profesional dan open minded dalam pengelolaan partai yang terukur dan konkrit dalam pencapaian,bkita tidak butuh pemimpin yang banyak berteori dan bertestimoni yang cendrung memuji kehebatan diri, tapi mampu menunjukan bukti pencapaian.
Seluruh KETUA DPD dan ADPRD SE NTT tentu masih ingat, saat Ketua Umum berkunjung Ke NTT ( Kupang ) menjelang pemilu,Tegas Ketua Umum menyampaikan bahwa Ketua Umum akan menyiapkan Dana untuk membiayai saksi 1 orang di setiap TPS, dengan catatan bahwa Saksi tersebut wajib coblos lambang partai Perindo, ini tentu sebuah strategi yang sangat bagus dan cerdas untuk mengejar Parlementer Threshold ( 4% ) . Tapi apa yang terjadi, pada sambutan ketua DPW NTT, dengan tegas mengatakan kepada ketua umum bahwa “Kami di NTT tidak perlu dibantu oleh Ketua Umum kami mampu membiayai saksi”. Apa maksudnya dari semua ini ? Maksud mulia ketua umum ditolak tegas, lalu kemudian DPD diperintahkan merekrut saksi dan dijanjikan akan membayar saksi 250.000 per saksi laku pada hari H uang saksi tak kunjung datang. kami menerjemahkan bahwa ini bukan kesalahan di DPP lagi, karna ketua DPW sebelumnya sudah dengan tegas menolak niat baik Ketua Umum Untuk membiayai saksi TPS, sehingga apa yang terjadi di lapangan kita di DPD dan para caleg yg semula merekrut 1 orang per TPS sebagai saksi dengan harapan dia mencoblos lambang partai, Malah hanya merekrut 1 orang tiap TPS yang kemudian akan memaki maki partai Perindo karna merasa dibohongi.
Ini juga kami beranggapan bahwa penyebab utamanya adalah sikap Ketua DPW yang tegas menolak tawaran bantuan dari Ketua Umum, mengakibatkan kurangnya perolehan kursi DPRD provinsi Nusa Tenggara Timur dari 6 kursi Menjadi 1 kursi,tentu ini merupakan sebuah hasil yang sangat buruk,dengan tingkat kemerosotannya sampai 83%. Apakah ini sebuah prestasi atau justru sebuah kegagalan besar ? Biarkan publik NTT yang menilai, dan DPP yang berkewenangan mengevaluasi.( Tim )