[ad_1]
Kebijakan publik tidak hanya dipahami sebagai konsep intervensi pemerintah terhadap persoalan publik, tetapi juga dipahami sebagai proses interaksi.
Denpasar (BERITA CALEG) – Budaya yang tumbuh dalam masyarakat–yang terekspresikan pada nilai-nilai yang diteladani masyarakat atau kearifan lokal–akan menentukan kebijakan publik yang mendapat dukungan masyarakat. Kebijakan publik memegang peranan penting karena substansi kebijakan berdampak luas pada masyarakat.
Beranjak dari Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Bali Era Baru: Hijau, Tangguh, dan Sejahtera yang dikeluarkan Kementerian PPN/Bappenas-Pemerintah Provinsi Bali, November (2021) menyebut bahwa pemulihan ekonomi Bali akibat krisis karena pandemi COVID-19 sangat tergantung kepada kecepatan pemulihan pariwisata.
Hadirnya Peta Jalan Ekonomi Bali tersebut, salah satunya dipicu oleh kekhawatiran Pemerintah mengingat daya saing pariwisata Bali belum maksimal sebagai destinasi remote working (bekerja dari jarak jauh) terutama bagi kaum digital nomad. Demikian pula destinasi wisata kesehatan belum dikembangkan secara optimal.
Pariwisata merupakan sektor yang sangat penting dalam pendapatan perekonomian Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya. Penguatan sektor pariwisata tidak terlepas dari kebijakan publik yang menaunginya. Urgensi kebijakan publik sebagaimana dikatakan Laswell, dan Kaplan (1970) adalah “a projected program of goals, values and practices”.
Hal ini bermakna setiap daerah termasuk Bali, memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi preferensi masyarakatnya. Kearifan lokal itu bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, atau budaya setempat yang beradaptasi dengan lingkungan di mana nilai-nilai itu tumbuh.
Dengan menyinergikan dan mengintegrasikan substansi nilai kearifan lokal tersebut ke dalam produk kebijakan publik, maka budaya adiluhung masyarakat tetap terjaga dengan baik. Kebijakan publik memegang peranan penting dalam kehidupan birokrasi di tengah masyarakat, sebab substansi kebijakan akan berdampak luas kepada masyarakat.
Dengan mengakomodasi kearifan lokal dalam setiap perumusan kebijakan, maka pemerintah daerah akan mendapat dukungan yang optimal dalam mengimplementasikan kebijakan karena warga masyarakat merasa dirangkul dan merasa memiliki kebijakan dan diharapkan akan mendukung pada saat implementasinya.
Hal ini sesuai dengan pandangan David Easton (1953 h.129) bahwa kebijakan publik itu sebagai “the authoritative allocation of values for the whole society”. Ketika Pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula Pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat.
Kebijakan publik dan reformasi birokrasi
Kebijakan publik secara umum diartikan sebagai segala sesuatu yang dipilih untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah “whatever government chooses to do or not to do (Thomas R. Dye, 1975).
Makna kata publik biasanya dikaitkan dengan pemerintah karena hanya pemerintahlah yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengatur masyarakat dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum (public service).
Kebijakan publik tidak hanya dipahami sebagai konsep intervensi pemerintah terhadap persoalan publik, tetapi juga dipahami sebagai proses interaksi. Suatu interaksi yang ideal pasti melibatkan proses partisipasi masyarakat, memerlukan proses aktualisasi kebijakan, serta menuntut hadirnya akuntabilitas pemerintah.
Di Indonesia, menurut Agus Pramusinto (2009) terdapat tiga isu besar untuk reformasi birokrasi, yakni masalah aparatur, organisasi birokrasi, dan mekanisme atau tata hubungan organisasi.
Ketiga masalah tersebut hendaknya bertransformasi ke depan menjadi aparatur yang profesional, birokrasi pemerintahan yang modern dan budaya saing internasional, serta tata pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Dalam kerangka upaya reformasi birokrasi di Indonesia pernah diberlakukan Peraturan Pemerintah No 8 tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang mengatur restrukturisasi organisasi pemerintah daerah dengan konsep MSKF (miskin struktur, kaya fungsi).Tujuannya adalah untuk rasionalisasi birokrasi di lingkup pemerintahan daerah.
Kemudian juga ada perubahan paradigma dari UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang menggunakan the structural efficiency model atau model efisiensi struktural menuju UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan the local democracy model atau model demokrasi lokal.
Berikutnya Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010- 2025, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 tahun 2020 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024.
Merujuk pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, ada beberapa permasalahan utama yang berkaitan dengan birokrasi diantaranya Pertama, Terkait organisasi. Organisasi pemerintahan belum tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing).
Kedua, terkait peraturan perundang-undangan di mana beberapa peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih ada yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan multitafsir.
Ketiga, terkait SDM aparatur, misalnya, alokasi dalam hal kuantitas, kualitas, dan distribusi ASN menurut teritorial (daerah) tidak seimbang, serta tingkat produktivitas PNS masih rendah dan sejumlah permasalahan lainnya.
Upaya reformasi birokrasi hendaknya berdampak signifikan dalam meningkatkan kinerjanya menjadi semakin berkualitas sehingga dapat menjadi birokrasi kelas dunia.
Urgensi muatan kearifan lokal dalam kebijakan publik
Kearifan lokal atau local genius senantiasa hadir dan berkembang pada masyarakat setempat sehingga tampak sebagai identitas budaya. Kearifan lokal di tengah masyarakat berperan sebagai filter budaya, bahkan mengintegrasikan nilai budaya yang heterogen, sehingga terjadi pengayaan budaya yang memperkuat eksistensi kearifan lokal tersebut.
Terkait bagaimana sebuah kearifan lokal dapat menjadi filter dari nilai-nilai baru dari eksternal, ada baiknya dikaji pendapat Osborne dan Gaebler (2007) yang menggambarkan bahwa pemerintah seyogyanya memahami eksistensinya milik masyarakat.
Pada tataran ini, nilai-nilai kearifan lokal dapat diakomodasi semangatnya dalam proses perumusan sebuah kebijakan pemerintah yang mengikat masyarakatnya.
Pada Pemerintahan Provinsi Bali, reformasi birokrasi dan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) menjadi program prioritas karena penting birokrasi yang bersih, akuntabel, berintegritas, dan memiliki semangat melayani.
Program-program prioritas Pemerintah Provinsi Bali yang memberikan manfaat dan dampak yang besar bagi krama (masyarakat) Bali tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak diiringi dengan reformasi birokrasi.
Dalam upaya meningkatkan kinerja dan produktivitas kerja aparatur, Pemerintah Provinsi Bali telah menetapkan nilai-nilai Budaya Kerja dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 3 Tahun 2016.
Lima nilai Budaya Kerja yang telah ditetapkan yaitu bernama TAKSU singkatan dari Tanggung Jawab, Akuntabel, Kreatif, Selaras dan Unggul. Kelima nilai ini merupakan representasi dari sekian banyak nilai yang dianut oleh pegawai agar dapat bekerja dengan baik.
Beberapa program yang dilakukan dalam reformasi birokrasi Pemerintah Provinsi Bali, antara lain, mencakup aspek kelembagaan, digitalisasi dalam operasi internal maupun pelayanan publik, pengembangan budaya pelayanan dengan membangkitkan kearifan lokal, yang bermuara kepada peningkatan akuntabilitas dan kinerja institusi pemerintah.
Evaluasi Pemerintah Pusat terhadap upaya reformasi birokrasi telah mengantarkan Pemerintah Provinsi Bali meraih peningkatan indeks pelaksanaan Reformasi Birokrasi, menjadi Baik Sekali (BB).
Meskipun demikian, upaya reformasi birokrasi merupakan upaya berkelanjutan untuk minimal mempertahankan capaian yang telah diraih, dan meningkatkan atau menyempurnakan aspek aspek perubahan yang diperlukan dalam mewujudkan birokrasi yang profesional, sejalan dengan harapan paradigma agile government atau pemerintahan yang lincah dan responsif.
Dari perspektif pariwisata, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, disebutkan bahwa yang mendasari pembangunan pariwisata adalah asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, demokratis, kesetaraan, partisipatif, berkelanjutan, dan kesatuan.
Nilai nilai kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat Bali perlu diayomi dalam sebuah sistem kebijakan publik. Setidaknya dalam substansi kebijakan pemerintah selalu mempertimbangkan semangat budaya yang berbasis pada kearifan lokal tersebut.
Di Bali, misalnya, Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali telah dikeluarkan dengan sejumlah tujuan, yakni menjaga dan memelihara kelestarian busana adat Bali dalam meneguhkan jati diri, karakter, dan budi pekerti.
Dua tahun berikutnya Pemerintah Provinsi Bali juga menerbitkan tiga pergub. Pertama, Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pura, Pratima, dan Simbol Keagamaan.
Kedua, Pergub Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut serta Ketiga, Pergub Nomor 26 Tahun 2020 tentang Sistem Pengamanan Lingkungan Terpadu Berbasis Desa Adat (Sipandu Beradat).
Dengan mengacu pada substansi berbagai pergub tersebut, terlihat Pemerintah Provinsi Bali telah menciptakan sistem kebijakan yang sejalan dengan nilai nilai kearifan lokal yang ada di tengah masyarakatnya.
Sebagai saran dan rekomendasi, kebijakan-kebijakan publik daerah seyogianya bermuatan kearifan lokal sehingga dapat mendukung penguatan pariwisata Bali.
Selanjutnya dilakukan monitoring dan evaluasi berkelanjutan. Hasil evaluasi yang objektif dapat digunakan sebagai kaizen atau menuju perubahan ke arah yang lebih baik.
Penulis:
– Dewan Pakar Indonesian Association for Public Administration Wilayah Bali-Nusa Tenggara 2023-2026
– Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali
COPYRIGHT © BERITA CALEG 2023
[ad_2]