Oleh: Honing Alvianto Bana
SUARA TTS.COM | SOE –Plin-plan itu artinya membingungkan, berbicara berputar tak jelas, dan sulit dipercaya. Orang berbicara namun membuat orang lain bingung. Orang bertindak juga dengan memaksa orang lain untuk memutar otak, dan bingung. Setiap buih kata yang keluar hanya menghasilkan kegelapan bagi orang sekitar yang mendengar.
Kira-kira seperti itulah, apa yang bisa kita tangkap dari demokrasi plin-plan dalam proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) kali ini di TTS.
Permasalahan Pilkades
Pilkades merupakan pengejawantahan demokrasi, maka untuk mewujudkan pilkades yang baik, setidaknya harus memenuhi dua unsur. Yaitu, keterbukaan dan partisipasi. Dalam sistem demokrasi keterbukaan menjadi prasyarat utama, yang kemudian melahirkan partisipasi masyarakat.
Sayangnya, dalam proses pengaduan dan penyelesaian sengketa di pilkades TTS kali ini, unsur keterbukaan dan partisipasi justru dikangkangi oleh panwas di tingkat Desa, panwas Kecamatan hingga panitia tingkat Kabupaten (Dinas PMD sendiri). Salah satu contohnya adalah pengaduan dari salah satu bakal calon Kepala Desa di Desa Mnelalete yang digugurkan hanya karna panitia desa dan panitia tingkat Kabupaten (Dinas PMD) salah menafsirkan syarat pada poin 8 terkait surat keterangan berbadan sehat dari dokter umum pemerintah.
Konyolnya lagi, setelah dilakukan klarifikasi di ruang komisi I DPRD TTS yang dihadiri oleh panitia desa, panwas desa, panwas Kecamatan dan panitia tingkat Kabupaten (Dinas PMD) , panitia Desa Mnelatete tetap bersikukuh untuk menggugurkan bakal calon tersebut dengan membuat surat penyataan sikap.
Pada poin ke 5 dalam surat pernyataan sikap tersebut, panitia pilkades desa Mnelalete justru menolak hasil klarifikasi tersebut dan menyatakan akan mengundurkan diri jika dipaksakan mengikuti rekomendasi dari DPRD TTS dan surat pemberitahuan dari dinas PMD untuk mengakomodir kembali dua bakal calon yang telah digugurkan. Dan dengan surat pernyataan sikap dari panitia desa tersebut, dinas PMD akhirnya mencuci tangan dengan alasan tidak mau mencampuri urusan panitia desa.
Permasalahan dan penyelesaian sengketa yang tak jelas seperti itu tak hanya dialami oleh Desa Mnelalete saja, melainkan ada juga beberapa desa lainnya di TTS.
Melihat hal tersebut, banyak orang akhirnya mencium aroma tak sedap dalam pesta demokrasi di pilkades TTS kali ini. Saya dan teman-teman menyebut demokrasi seperti ini dengan sebutan demokrasi plin-plan.
Demokrasi Plin-Plan
Dalam demokrasi plin-plan, yang kita temukan adalah orang berbicara panjang lebar tapi justu membingungkan. Pembicaraanya hanya berputar-putar, tak berdasar, dan sulit dipercaya. Orang berbicara namun membuat orang lain bingung. Setiap kata yang keluar justru menghasilkan kegelapan bagi orang sekitar yang mendengar. Setiap kebijakan atau keputusan yang diambil pun demikian, hanya menghasilkan kerugian bagi masyarakat. Penundaan pilkades yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat di 136 desa di TTS adalah contoh lainnya yang sedang terjadi.
Demokrasi di pilkades TTS kali ini telah menjadi sesuatu yang tak jelas arahnya. Semua orang berbicara, tapi tak ada yang mendengarkan. Yang membuat dan menjalankan aturan berbicara dalam kebingungan. Yang mendengar dan melaksanakan jauh lebih bingung lagi. Pertanyaannya, apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Kebodohan.
Orang berbicara panjang namun tak ada isi. Ini adalah tanda kebodohan. Kebodohan ditutupi dengan ribuan kata yang miskin makna. Kata tidak lagi menjelaskan, melainkan justru memiringkan kebenaran.
Kira-kira seperti itulah yang terjadi dalam pilkades TTS kali ini. Kepala dinas berbicara banyak tentang demokrasi dan tampak bersemangat. Tapi kita semua tahu, itu tidak bermakna, karena tak akan menjadi realita. Rapat klarifikasi dilakukan berulang kali, tapi justru tak jelas karena para pimpinannya menutupi ketidakmampuan dengan ribuan kata yang terucap, namun tak menyentuh makna.
Demokrasi kita perlu lebih sedikit kata. Kata yang terucap dan tertulis haruslah mencerminkan kedalaman analisis untuk menyelesaikan masalah, dan bukan semata pelarian diri dari ketidakmampuan menghadapi masalah. Setiap kata harus disertai pemahaman yang utuh dan ketajaman analisis, dan bukan hanya buih-buih dari mulut yang membuat orang mengerutkan dahi.
Miskin Percaya Diri.
Di balik serbuan kata tanpa makna, ada kelemahan tersembunyi di baliknya, yakni miskinnya rasa percaya diri. Ketidakpercayaan pada kemampuan diri sendiri ditutupi dengan kata-kata panjang yang berbunga-bunga. Sayangnya, apa yang dikatakan tidak mencerminkan maksud, melainkan justru menutupinya kelemahan.
Di daerah kita, kita bisa dengan mudah menemukan pejabat semacam ini. Di depan publik mereka tampak cerdas dan perkasa. Namun ketika berbicara suasana langsung berubah menjadi tak nyaman. Dia berbicara namun tak menjelaskan apa-apa. Dia membuka mulut namun hanya suara berisik yang terdengar di telinga. Maka orang perlu untuk belajar percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Ia perlu berbicara lebih sedikit, namun dengan keyakinan diri, serta pemahaman dan kedalaman makna yang mengikutinya.
Miskin Refleksi.
Orang biasa berbicara tak jelas karena ia malas refleksi. Ia malas memikirkan apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Ia terjebak pada kepentingan sesaat dan roda rutinitas yang secara perlahan tapi pasti menghancurkan jiwa serta menghambat kemajuan daerah. Ia membuat semua orang bingung. Ia tak bisa dipercaya, karena kata yang keluar dari mulutnya jauh dari kebenaran yang ada dalam realita. Ia mengecoh dan mengelak, sehingga citra yang tampak jauh dari isi yang sebenarnya.
Di TTS, pejabat semacam ini sangatlah banyak. Mereka hidup dengan rutinitas yang mungkin terlalu padat sehingga tak punya waktu untuk berhenti mengistirahatkan pikiran. Jika begitu yang rusak bukan hanya fisik, tetapi juga pikiran dan jiwa. Tanpa sadar (karena miskin refleksi), mereka mempersulit perubahan, memperlambat kemajuan daerah, dan menyusahkan orang lain.
Untuk itu, kultur refleksi haruslah dikembangkan. Tak ada hari tanpa refleksi, itulah yang kita perlukan. Ini harus menjadi suatu gerakan sosial, dan tak boleh hanya beberapa individu saja. Dengan kedalaman refleksi, saya percaya bahwa demokrasi kita akan semakin membaik.
Demokrasi Kita
Demokrasi di TTS adalah demokrasi plin-plan. Orang berbicara panjang untuk menutupi kebodohan. Orang berbicara lama untuk menutupi ketidakpercayaan diri. Orang berbicara berputar karena ia malas refleksi.
Yang lebih sulit bukanlah berbicara banyak, tetapi berbicara sedikit, namun maksud tersampaikan. Orang harus belajar untuk berbicara lebih sedikit, lebih tepat, lebih bermakna, dan lebih mencerahkan.
Kita tahu, dasar dari demokrasi adalah kata dan bahasa. Jika kata dan bahasa tak jelas, maka demokrasi kita hanya akan berputar ditempat. Jika kata dan bahasa jauh dari makna, maka yang dihasilkan hanyalah argumentasi kosong yang amat mirip dengan sekedar suara. Tak heran nilai-nilai demokrasi kita di TTS hanya berkembang menjadi suara, dan tak pernah menjadi nyata. Tidak heran memang.
*Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe – Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di Komunitas Paloli TTS dan pemuda gereja GBKN.
Mantap Om Honing… ???