Oleh: Honing Alvianto Bana
SUARA TTS.COM | SOE – Saya dan kau, siapa yang hujan dan siapa yang cahaya? seperti status WA saya minggu kemarin yang kau komentari, tapi tak dapat balasan. Kau masih marah? Semoga tidak lagi.
Oke. Begini saja, biar saya jawab. Siapa saya dan siapa kau? Saya sebagai hujan. Dan kau sebagai cahaya. Lalu saya dan kau itu seperti apa? Saya si jelek yang bisu. Sedangkan kau si cantik yang kurus dan tuna netra. Cukup? Kalau sudah cukup kisah ini akan saya mulai.
Kau tahu? Kenyataan yang membentuk siapa dan bagaimana kita itu. Ternyata membuat saya tidak memilih untuk menempuh jalan tercepat menuju dirimu. Karena jalan memutar untuk mengenal dirimu secara lebih perlahan menurut saya lebih menarik. Karena dengan begitu, saya jadi bisa melihat dirimu dari banyak sudut. Walaupun rasa penasaran akan hasil akhir menjadi lebih panjang. Dan, pertanyaan tentang apakah suatu saat saya bisa mengajakmu berbincang, tapi dengan cara yang sedikit lain? semoga bisa.
Baiklah. Begini saja. Saya ingin jujur padamu. Kalau saya tak pernah tahu apa nama kisah yang saat ini sedang berlangsung. Kecuali keterpesonaan yang datang mendadak di suatu sore. Waktu itu langit berwarna jingga. Dan kita berada di sebuah tempat yang berbeda. Kau mungkin sedang duduk sambil memangku rahasia tentang mantan pacarmu yang kau cintai mati-matian selama 5 tahun itu. Dan saya berdiri menerawang. Membelakangi mu. Waktu itu saya ingin mengajakmu berbincang dengan cara yang sedikit lain. Tapi keberanian saya mendadak disapu habis oleh angin sore itu.
Lalu pada sore yang lain. Saya melihat kau menulis status di facebook dengan kalimat yang sedikit aneh. Dan saat itu saya tau kalau kau sedang berjalan ke depan sambil membaca buku tentang masa lalu mu. Sebuah masa lalu yang mungkin membuatmu sedikit sesak nafas. Jujur, saya ingin sekali menolong mu, jika waktu itu kita sudah saling berkenalan.Tapii, mau bagaimana lagi, kita memang tidak ditakdirkan untuk berkenalan lebih awal.
Oh ya, satu lagi, tidak mungkin saya mengirim pesan via inbox lalu seolah-olah merasa berempati dengan kondisi masa lalu mu yang kelam dengan tujuan mendekati kau lewat cara seperti itu. Cara itu sudah biasa. Sudah basi. Cara yang sering dilakukan oleh laki-laki yang suka menikung. Kau tau kan, banyak laki-laki yang suka menikung itu selalu menunggu saat-saat dimana wanita yang sudah mereka jadikan sebagai target berkelahi atau mungkin putus (sementara) dengan pacarnya. Bagi mereka, itu adalah sinyal yang tepat untuk menjalankan misi untuk menikung tanpa merasa berdosa.
Saya mungkin bisa saja langsung menghubungi kau dengan cara seperti itu, tapi saya tak ingin bergerak langsung menuju dirimu. Saya ingin menempuh jalan memutar terlebih dahulu agar saya bisa melihat dirimu dari banyak sudut. Kau tau kan, sekitar 8 bulan lebih saya mengintip facebook mu. Mengintip itu memang tak enak, apalagi dengan waktu yang cukup lama. Lalu, setelah itu kau masih ingin menggantung jawaban dari pertanyaan saya selama dua bulan, dan kau merasa itu biasa-biasa saja? Itu berarti kau tak punya hati. Semoga kau tidak marah saat membaca cerpen yang ditulis dengan jujur tanpa rasa malu ini.
Alur dari kisah ini selanjutnya mungkin lebih menanjak. Seperti seseorang yang ragu untuk meneteskan air mata ketika dadanya terasa padat oleh kesedihan. Sebaiknya saya tidak mengirim banyak isyarat kepadamu. Karena saya takut untuk melukaimu dengan cara komunikasi yang melahirkan batas dan jarak itu.
Semoga kau baik-baik saja dengan cahaya yang tak bisa direspon oleh matamu. Dan saya juga baik-baik saja dengan keterbatasan berbicara dan keheningan pada telinga ini. Tapi perlu kau tahu. Saya juga pernah beberapa kali diremas kegalauan. Bahwa diri saya juga tidak sedang baik-baik saja. Apalagi ketika saya terdiam di dalam ruang tunggu tanpa seorang pun di situ. Kau tau, 8 bulan menunggu sendiri itu rasanya seperti berkhotbah diatas mimbar tanpa jemaat. Sunyi. Tak ada suara. Hanya pengabaian yang tak terungkap. Pasrah.
Dari kenyataan itu, saya jadi lebih tahu hubungan antara lelah dan rindu untuk cepat berbicara dengan dirimu. Hubungan itu saya temukan ketika saya tak berhenti mencari cara untuk berbicara denganmu. Maksud saya, cara untuk menjadi sama. Kau masih ingat saat pertama kali kita berkenalan? banyak kesamaan yang dibuat-buat.
Tapi kemudian saya akhirnya menemukan kembali sebuah keberanian yang pernah saya miliki. Dan kemudian keberanian itu tak bisa terkontrol, tepat ketika saya menemukan dirimu. Iya, ketika saya mencuri nomer WA-mu tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Saat itu, saya seperti menemukan kembali keberanian yang pernah saya punya. Keberanian yang sudah lama saya tinggalkan beberapa tahun yang lalu.
Tapi setelah itu. Tahukah kau? Beberapa kisah tanpa cinta dalam angan-angan yang semakin banyak menjejali diri saya. Saya tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin penyebabnya adalah masalah tersembunyi yang sedang saya hadapi. Masalah tersebut bisa jadi adalah masalah komunikasi antara kau dan saya. Kau tau, jiwa saya berombak ketika memikirkan kembali tentang peristiwa itu. Bahwa kita adalah dua manusia dengan indera yang tak lengkap. Yang sialnya bermukim di dalam dunia yang janggal dan diskriminatif.
Aih, seandainya saja kau bisa melihat dan menangkap isyarat yang saya susun, maka saya tidak akan kebingungan untuk mengatakan: saya jatuh cinta padamu, sungguh, saya jatuh cinta padamu. Tapi saya harus buru-buru sadar. Kalau saat itu saya hanyalah seseorang yang masih tahu sedikit tentang dirimu. Kau adalah perempuan kurus dengan alis mata tipis yang mungkin tidak sedang menunggu apapun, atau mungkin masih ingin sendiri untuk beberapa waktu lagi. Entahlah, seperti ada sesuatu yang membuat saya berpikir demikian. Tapi jika pikiran saya benar. Saya akan berusaha untuk menjadi sesuatu yang kau tunggu. Kau mengerti? semoga.
Pada sore yang lain lagi. Tepat ketika matahari mulai berkemas menuju peraduannya. Saya memutuskan untuk berani mendekatimu. Saya mencoba mendekatimu dengan perlahan. Saya harap pesan singkat dan degup jantung saya tidak memicu ketakutan, atau kecurigaan darimu. Karena saya ingin kau tetap merasa nyaman. Saat ini saya sudah berani mengajakmu berkomunikasi. Dan kau tampak menyadarinya. Kau merasa nyaman setelah itu? entahlah.
Beberapa hari kemudian. Saya memberanikan diri mengajakmu berbincang dengan cara yang biasa. Dan tentu saja wajahmu kelihatan bingung. Salah satu alis matamu itu seakan terangkat. Alasannya, karena saya aneh. Begitupun sebaliknya, saat kau juga mencoba mengajak saya berbincang dengan cara yang biasa. Saya pun selalu merasa kebingungan. Karena kau pun aneh. Kau tau kenapa? karena saat berbicara kau sering mengancam. Kau ibarat macan yang siap menerkam; kasar.
Kemudian beberapa bulan setelah itu kita jadian. kau tau betapa senangnya diri ini? ibarat ada api didalam dada yang tiba-tiba menyinari hati yang gelap dan berdebu ini.
Cahaya, apakah kau ingat kejadian pada malam itu, pada saat orang-orang sedang sibuk merayakan hari kemerdekaan ? sedangkan kita sedang sibuk berdebat tentang arti dan tujuan dari berpacaran itu sendiri? kita memang berbeda pandangan tentang banyak hal, kecuali dalam cinta.
Tapi bagaimana pun, saya harus berterima kasih kepada kau. Terima kasih untuk kisah yang masih seumur jagung ini. Kisah yang akhirnya membuat saya kembali percaya bahwa perbedaan memiliki keindahannya sendiri. Bukankah kita adalah contoh bahwa perbedaan itu bisa membuat kita berjalan berdampingan tanpa saling menyeragamkan watak dan kepribadian masing-masing? Iya, kita adalah pelangi. Saya hujan, kau cahaya.
Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Ia suka menulis puisi dan cerpen. Saat ini ia sedang aktif di komunitas Paloli TTS.