BeritaOpini

Cerpen | Bupati Mati Tertimpa Pohon Cendana

3
×

Cerpen | Bupati Mati Tertimpa Pohon Cendana

Sebarkan artikel ini

Ket foto.Honing Alvianto Bana

SUARA TTS.COM.

Kapak pemotong kayu itu kembali diayunkan dari tangan seorang pegawai honorer, tetapi sudah kukeraskan seluruh pembuluh dan kambiumku. Rasa perih tiba-tiba menyebar ke seluruh tubuhku ketika ujung kapak yang tajam itu diayunkan dan tertanamkan di kulitku. Namun, seperti kemarin-kemarin, hanya kulitku saja yang sedikit terkelupas.

Setelah 10 menit mencoba, pegawai itu mundur sambil menggeleng kepala kepada teman-temannya. Seluruh ujung kapak yang tajam sudah kubikin tumpul ketika menyentuh lapisan terluar kulitku.

Sudah seminggu ini para pegawai menebangi pohon-pohon di sekitar kantor bupati lama ini. Hanya aku yang tersisa. Pohon beringin, angsana, dan klengkeng tak tampak lagi. Semuanya sudah ditebang dan akar-akarnya dicabut tanpa sisa. Pohon-pohon itu tak melawan ketika kapak yang tajam itu menyayat batang mereka. Kata mereka kepadaku, bupati ingin menata kantor bupati ini dan menggantingkannya dengan pohon-pohon cemara.

Namun, aku belum bisa mengikhlaskan diriku menjadi tumbal. Aku lebih dulu hidup ketimbang siapa pun di kota ini. Kulitku menunjukan bahwa aku lebih tua dari usia kota ini. Kusaksikan langsung jalannya sejarah. Begitu banyak yang kusaksikan hingga aku berani mengaku lebih bijaksana dari siapa pun, bahkan para bupati yang pernah menjabat di Kabupaten ini.

Jika aku bisa menulis, mungkin sudah ku tulis buku-buku tebal berisi hikmah dan pengetahuan untuk para warga dikota ini.

Ketika tubuh ku belum setinggi pohon jagung, kota ini masih belantara lebat dan masih sangat sepi. Bahkan hukum yang berlaku disini hanyalah hukum adat. Siapa berdarah bangsawan, maka dialah penentu kebenaran.
Selain hukum adat, hukum yang berlaku disini hanyalah hukum rimba. Siapa yang terkuat, dialah pemenang.

Seekor biawak pernah memanjati batangku untuk menerkam musang yang bersembunyi di dahan paling tinggi. Burung tekukur, pipit, koak, dan sebagainya membangun kota dalam kerimbunan daun-daun ku.Rumput pun lebih segar dan hijau di bawah naungan rantingku. Dahanku juga membentang begitu luas sehingga mampu memberi teduhan bagi siapa pun tanpa membeda-bedakan.

Ketika tinggiku mencapai 7 meter, kusaksikan manusia pertama yang membawa katapel dan berburuh burung tekukur di sini. Juga masih ku ingat laki-laki pertama yang membersihkan rumput dan bebatuan untuk membangun Kantor Pengadilan.        Laki-laki itu sering bernaung di bawah tajukku untuk beristirahat. Sering pula ia tertidur hingga sore dan harus ku bangunkan dengan tetesan air dari ujung daun ku agar ia tak terlambat pulang. Selalu ia mengucapkan terima kasih kepada ku sambil tersenyum saat terjaga. Aku memang tak tega jika laki-laki yang santun dan rajin itu pulang kemalaman. Aku dan dia sama-sama tak menyukai gelap, tetapi mungkin dengan alasan yang berbeda. Aku tak suka gelap karena tanpa panas dan cahaya, aku tak bisa mengolah bahan makanan yang seharian ku kumpulkan.

Setiap kali tubuh ku bertambah, pengetahuan dan kebijaksanaan ku juga bertambah. Lalu ku temukan cara paling manjur untuk mengelola makanan. Hasilnya, akar-akarku menjadi sangat kuat, sanggup menembus tanah yang sangat padat, dan bisa menjalar sampai jauh di bawah permukaan tanah. Jika perlu, bisa ku sisihkan batu atau kerikil yang menghalangi pertumbuhan akar ku. Karenanya, air bukan masalah bagiku. Akar-akar ku sanggup mengisap air tanpa henti, dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu.

Dengan pengetahuan dan kebijaksanaan seperti itu, siapa pun akan mafhum jika aku tumbuh menjadi raksasa: pada puncak usia ku sekarang ini, butuh satu orang dewasa untuk memeluk batang ku. Namun, aku tak pernah takabur dengan kelebihan itu. Ketika kota ini baru pertama dibangun, ku izinkan siapa pun memotong dahan dan ranting ku untuk kayu bakar. Bahkan setelah kota ini berubah menjadi kota yang ramai, tak pernah ku tolak orang-orang yang berteduh di bawah ranting dan dahan ku.Tak ku ingat lagi sudah berapa pasangan yang pernah bersandar di batang ku dan bertukar ciuman sambil dipayungi daun-daun ku. Aku menjadi saksi entah berapa ciuman pertama, gombalan-gombalan manis, dan pertengkaran-pertengkaran asmara disini. Aku menikmati cerita-cerita cinta itu karena aku pun pernah merasakan keindahannya. Seringkali ku taburkan madu dan mengeluarkan bau harum di bagian dahan serta bunga ku agar serangga tertarik dan membantu menyebarkan benih-benihku ke seluruh penjuru kabupaten ini, agar bisa melestarikan keturunan ku. Meski begitu, setiap hari keturunan ku semakin berkurang. Padahal, akar ku telah dijadikan sebagai lambang dari kabupaten ini. Bahkan dilambang di baju dinas para pegawai negeri sipil itu.

Pernah ku saksikan kebodohan-kebodohan dari beberapa orang yang ingin mencalonkan diri menjadi bupati. Mereka berpikir aku adalah penunggu tempat ini sehingga mereka perlu datang dan meminta restu. Mereka menaruh tempat sirih dan mulai berbicara seperti orang kesurupan. Mendengar pembicaraan mereka, membuat aku tersenyum geli. Aku hanyalah sebatang pohon cendana, bukan Uis Neno atau Uis Pah. Yang bisa ku berikan hanyalah teduhan dan bantuan untuk menghijaukan kantor bupati ini. Itu saja. Tidak lebih.

Kebodohan yang paling menyedihkan adalah keputusan seorang bupati yang berwatak feodal. Kepada salah seorang kepala dinas, ia mengungkapkan rencana untuk menebang pohon-pohon didepan bekas kantor Bupati dan menggantikannya dengan pohon cemara. Katanya, menata dan membangun taman disini haruslah menggunakan pohon cemara. Tak baik kalau ada pohon cendana. Meski begitu, aku tahu maksudnya. Ia sebetulnya menginginkan batang ku yang mulai berisi dan harum ini. Bupati ini, meskipun ia telah hidup di zaman modern, aku tahu pikirannya masih jauh tertinggal, masih seperti pemikiran orang zaman dahulu. Itulah sebabnya aku tak terkejut ketika mendengar gagasan bodoh itu. Gagasan bodoh memang akan selalu melahirkan tindakan bodoh.

Setelah para pegawai itu gagal menebang ku untuk beberapa kali, tiba-tiba seorang kepala dinas mengundang seseorang yang terkenal dari dikaki gunung Mutis. Katanya, orang ini adalah penebang pohon terbaik. Ia sudah berulang kali menumbangkan pohon Ampupu, Kabesak, kayu putih dan lain-lain.

Saat penebang pohon itu mulai mengayunkan kapak, diam-diam kupatahkan dahanku yang agak besar, lalu kujatuhkan tepat menimpa kepalanya. Orang itu pingsan dan cepat-cepat dibawa ke rumah sakit.

Setelah usaha terakhir yang mereka gunakan untuk menebangku pun sia-sia, mereka tak kehabisan akal. Tiba-tiba kulihat seorang kepala dinas berbicara di telepon. Sepertinya ia melaporkan kejadian itu kepada bupati. Dan benar, beberapa menit kemudian Bupati tiba dan memarkir mobilnya agak jauh dari tempatku berdiri. Laki-laki buncit berkacamata itu mendekat dan memarahi kepala dinas bersama para pegawai. Baginya, ini adalah kejadian paling konyol, dimana untuk menebang sebatang pohon cendana; Bupati harus turun tangan. Beberapa saat kemudian, ia kembali memerintahkan agar sebelum menebang haruslah mengikat tali pada beberapa ranting ku.

Saat para pegawai itu mulai memegang kapak dan kembali mendekati tubuh ku, kuperiksa tempat bupati itu berdiri. Aku puas karena kakinya masih berada dalam jangkauan bayang-bayang dahanku. Ketika kapak mulai diayunkan dan menyayat batangku, kulemaskan pembuluh dan kambium ku. Bisa kurasakan saat aku terhuyung-huyung sementara beberapa orang menarik tali yang diikatkan di pangkal-pangkal dahan. Sebelum tumbang, ku pastikan rantingku yang paling keras yang telah kusiapkan mengarah tepat di kepala Bupati. Bupati yang sombong itu akhirnya mati sebelum menghabiskan periode pertamanya.
***

Oleh : Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di Komunitas Paloli TTS dan Pemuda GBKN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *