BeritaOpini

Outbound Membentuk Perilaku Sosial dan Emosional Anak

1
×

Outbound Membentuk Perilaku Sosial dan Emosional Anak

Sebarkan artikel ini

Oleh Jurniawan Nenabu

SUARA TTS.COM | SOE – Masa kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan otak yang akan menentukan perkembangan berbagai aspek potensi anak. Agar anak dapat mencapai tahapan perkembangan yang optimal, maka proses pengembangan kemampuan anak yang dilakukan harus memenuhi prinsip-prinsip belajar pada anak usia dini yaitu berangkat dari potensi yang dimiliki anak, belajar harus menantang pemahaman anak, belajar dilakukan sambil bermain dengan menggunakan alam sebagai sarana pembelajaran, merangsang sensori anak, memberikan bekal keterampilan hidup, dan terakhir belajar dilakukan sambil melakukan.

Berdasarkan pemahaman tersebut Prasetyono (2007:23) menyatakan bahwa bermain bagi anak-anak bukan sekedar bermain, tetapi bermain merupakan salah satu bagian dari proses belajar. Dalam bermain, anak dapat menerima banyak rangsangan. Selain dapat membuat diri anak senang juga dapat menambah pengetahuan anak. Dalam proses belajar, anak-anak mengenalnya melalui permainan karena tidak ada cara yang lebih baik untuk merangsang perkembangan kecerdasan anak melalui kegiatan melihat, mendengar, meraba dan merasakan yang semuanya itu dapat dilakukan melalui kegiatan bermain.

Bermain dapat dilakukan dengan cara beraneka ragam, salah bermain menggunakan strategi outbound atau belajar di alam terbuka. Outbound merupakan strategi belajar yang dilakukan di alam terbuka, penggunaannya dinilai memberikan kontribusi positif terhadap kesuksesan belajar (Ancok, 2006:2). Tujuan dari strategi outbound adalah untuk mengembangkan sikap keterbukaan dan keberanian diri sambil menikmati alam bagi individu. Kesempatan dan kebebasan untuk melakukan bermacam-macam kegiatan akan memberikan pengalaman baru bagi anak. Selain itu, pengalaman berpartisipasi dalam outbound akan mengajarkan anak untuk memaknai team work sebagai salah satu kunci kesuksesan bersama. Hal ini dikarenakan kegiatan di dalam outbound banyak menggunakan aktivitas bermain secara kelompok dengan menggunakan sejumlah aturan tertentu. Solehuddin (1997: 65) berpendapat bahwa menjelang anak berusia enam tahun, permainan-permainan yang melibatkan aturan-aturan tertentu (rule game) perlu lebih diintensifkan. Hal ini penting untuk mengembangkan perilaku moral, dalam arti memperkenalkan pada anak bahwa ada aturan main yang perlu dipatuhi dalam bergaul dengan teman. Aturan main tersebut penting sekali dipelajari oleh anak usia dini dalam rangka meningkatkan keterampilan berperilaku sosial. Dengan memiliki ketrampilan interpersonal tersebut, anak akan belajar untuk hidup beradaptasi dengan orang lain.

Alam semesta adalah sumber kearifan dan tempat belajar bagi semua individu (Ancok, 2006: 4) karena manusia pada dasarnya dapat memahami kehidupan ini dari alam semesta. Kondisi alam semesta yang masih alamiah menjadi setting kegiatan pelatihan outbound. Belajar di alam terbuka secara naluriah akan menimbulkan suasana yang gembira, tanpa tekanan dan jauh dari kebosanan. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran pada anak-anak bahwa belajar dapat dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan sekolah pun menjadi identik dengan kegembiraan. Kegiatan outbound sendiri dirancang sedemikian rupa sehingga dapat disebut sebagai simulasi dari kehidupan nyata yang dialami individu sehari-hari. Muatan experiential learning pada kegiatan outbound dinilai efektif dalam mengembangkan potensi anak usia dini.

Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain; baik dengan teman sebaya, guru, orangtua maupun saudara-saudara anak (Syaodih dan Agustin, 2008:2.23). Ketika berinteraksi dengan orang lain, anak akan mengalami peristiwa-peristiwa bermakna dalam kehidupannya yang dapat membantu membentuk kepribadian anak. Proses mengenal tingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat dan diharapkan untuk dilakukan oleh anak, serta belajar mengendalikan diri dinamakan proses sosialisasi. Hasil yang diperoleh dari proses sosialisasi tersebut merupakan keterampilan sosial yang memiliki peranan penting dalam menjalin interaksi dengan lingkungan sosial.

Terdapat empat kelompok pengembangan keterampilan sosial yang dapat dipelajari anak yaitu keterampilan dalam kaitannya dengan membina: (1) hubungan dengan orang dewasa; (2) membina hubungan dengan teman sebaya; (3) membina hubungan dengan kelompok; serta (4) membina diri sebagai individu yang berada dalam lingkungan sosial. Dalam membina hubungan dengan orang dewasa, anak berhak diperlakukan adil dalam mendapatkan scaffolding/rambatan perkembangan.

Keterampilan menjalin hubungan dengan teman sebaya berkembang melalui pengalaman memecahkan pertentangan dengan anak lain, belajar berbagi bahan dan peralatan main, saling mengkomunikasikan keinginan, informasi dan pendapat, serta mempertahankan hak. Membina hubungan dalam kelompok, anak akan belajar untuk berperan serta, bekerja sama dan mengenal aturan yang berlaku. Sebagai pribadi, anak Ini belajar untuk mengenal perbedaan dan menghargai perbedaan dengan orang lain serta memberikan bantuan yang dibutuhkan. Untuk menjadi pribadi yang sosial tidak dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Perilaku sosial merupakan perilaku yang diperoleh melalui proses belajar yang mengacu pada siklus perkembangan.

Secara langsung, perilaku sosial dipengaruhi oleh perkembangan psikososial. Pada anak usia TK berada pada fase Inisiatif vs Rasa Bersalah (usia 3-6 tahun). Erikson menjelaskan bahwa “Children need to express their natural curiosity andil creativity during this stage through opportunities to act on the environment. If explorations are regarded as naughtiness and if parents or teachers are overly concerned with preventing children from getting dirty or destroying things, a sense of initiative may not be developed and guilt may be the more prevalent attitude” (Feeney, 2006: 127).

Adanya kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan tersebut berkaitan dengan interaksi anak dengan alam sekitarnya. Selain itu, kecerdasan juga erat kaitannya dengan perkembangan kognitif. Jamaris (2006:23) menyebutkan bahwa perkembangan kognitif anak usia Taman Kanak-Kanak berada dalam fase praoperasional yang mencakup tiga aspek, yaitu berpikir simbolis, yaitu kemampuan untuk berpikir tentang objek dan peristiwa walaupun objek dan peristiwa tersebut tidak hadir secara fisik (nyata) di hadapan anak; Berpikir egosentris, yaitu cara berpikir tentang benar atau tidak benar, setuju atau tidak setuju berdasarkan sudut pandang sendiri. Oleh karena itu, anak belum dapat meletakkan cara pandangnya di sudut pandang orang lain; Berpikir intuitif, yaitu kemampuan untuk menciptakan sesuatu, seperti menggambar atau menyusun balok, akan tetapi tidak mengetahui dengan pasti alasan untuk melakukannya.

Perilaku merupakan kegiatan organisme yang dapat diamati, oleh karenanya Jersild (Syaodih,1999:36) menyatakan bahwa pengukuran perilaku dapat dilakukan dengan cara Metode observasi langsung, yaitu melakukan pengamatan secara langsung perilaku anak-anak di dalam interaksi sosial. Observasi berikut ini dapat dilakukan dalam situasi bebas dan dapat pula dilakukan dalam situasi yang berstruktur (situasi yang telah dirancang sebelumnya); Metode perekaman suara dan gambar gerakan, yaitu dengan menggunakan peralatan elektronik untuk mempertinggi hasil pengukuran dan memperluas sasaran pengukuran; Metode dengan menggunakan penilaian guru terhadap anak yang berada di bawah tanggung jawabnya. Contoh penggunaan metode tersebut dilakukan dengan menggunakan Skala Perilaku Anak-anak, Herber (1972) yang menggunakan Skala Penilaian Perilaku Sosial; Metode dengan meminta anak untuk saling menilai diri antara yang satu dengan yang lain.

Secara harafiah, emosi berasal dari kata ‘emotus’ atau ‘emovere’ yang dapat diartikan sebagai suatu keadaan gejolak penyesuaian diri yang berasal dari dalam dan melibatkan hampir keseluruhan diri individu (Sujiono 2005: 94). Goleman menjelaskan bahwa akar kata emosi, movere, merupakan kata kerja bahasa latin yang berarti menggerakkan atau bergerak setelah mendapatkan awalan ‘e’ menjadi ‘emovere’, memberi arti bergerak menjauh, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Musthofa, 2007:22). Lebih lanjut Goleman merumuskan emosi sebagai sesuatu yang merujuk pada perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, yang merupakan keadaan psikologis dan biologis sehingga menimbulkan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Syaodih dan Agustin, 2008: 2.24).

Dapat dirangkum bahwa suatu kondisi emosional akan memunculkan perilaku yang diwarnai oleh perasaan yang mendalam. Perilaku tersebut dapat tampak (overt) karena menunjukkan adanya perubahan pada aktivitas indera tubuh dan dapat pula tidak tampak (covert) karena hanya berpengaruh pada sistem syaraf. Berdasarkan pengalaman belajar dan kematangan, individu dapat melakukan kontrol diri terhadap kondisi emosional yang dialaminya. Anak usia dini, sebagaimana orang dewasa, mengalami beragam emosi beserta pengekspresian yang ditunjukkan dengan cara yang berbeda-beda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Dengan bantuan lingkungan sosialnya, anak akan mengalami perkembangan emosi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belajar melalui pengalaman adalah proses belajar dimana subyek melakukan sesuatu bukan hanya memikirkan sesuatu. Oleh karena memperoleh pengalaman langsung terhadap sebuah fenomena, orang dengan mudah dapat menangkap esensi pengalaman. Pengalaman belajar di alam terbuka akan memberikan rangsangan emosi dan kegembiraan pada diri anak. Dalam berperilaku sosial, anak menunjukkan kemampuan untuk berteman dan menjalin relationship dengan teman sebaya. Dari pertemanan tersebut, tampak adanya kemampuan awal pada anak untuk bekerja sama, berbagi dan menolong teman serta menunjukkan rasa empati kepada teman. Kondisi emosional anak juga menunjukkan kemampuan untuk mengenali dan memahami perasaan yang dialami, tetapi belum mampu untuk mengontrol emosinya tersebut. Disebutkan bahwa emosi yang dominan terlihat pada anak adalah rasa takut dan amarah. Amarah tersebut seringkali berujung pada perilaku agresif yang dilakukan oleh anak. Outbound dilakukan penuh dengan kegembiraan karena dilakukan dengan permainan, sehingga anak merasa senang ketika mengikuti kegiatan belajar maka secara langsung melalui outbound dapat membentuk perilaku sosial dan emosional anak.

* Jurniawan Nenabu adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Kristen Arastamar SoE (STAKAS)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *