Kupangonline.com,Labuan Bajo,
Aktivis Pergerakan, Yosef Sampurna Nggarang, mengatakan, pemberitaan seputar sengketa lahan di Labuan Bajo sudah sangat bias.
“Saya mengikuti dinamika pemberitaan terkait sengketa tanah antara pribadi yang sedang berproses sidang di Pengadialn Negeri (PN) Labuan Bajo. Saya melihat sudah sangat bias,” kata Yos Nggarang, di Labuan Bajo, Rabu 3 Juli 2024.
Menurut dia, narasi yang dimunculkan dalam pemberitaan terkait kasus ini, jika tidak diluruskan, maka bisa menghambat investasi di tengah geliat industri pariwisata Labuan Bajo.
Apalagi beberapa oknum dalam narasinya, sebagaimana dikutip dalam pemberitaan, cenderung menyerang Fungsionaris Adat yang sama sekali bukan menjadi bagian dalam perkara tersebut, baik sebagai pengguggat, tergugat ataupun turut tergugat.
“Faktanya, Fungsionaris Adat bukan bagian dari perkara yang sedang bergulir. Serangan ini diduga bagian dari kerja mafioso. Lantas mengapa mereka menyeret dan menyerang Fungsionaris Adat?” tandas putra Manggarai Barat, yang konsen meneliti persoalan agraria ini.
Ia menduga, ada lokasi tanah lain yang mereka sasar. Mereka hanya menunggangi sengketa lahan Kerangan yang sedang bergulir di pengadilan saat ini.
Dugaan ini muncul setelah mencermati pemberitaan terkait surat terbuka kepada Fungsionaris Adat, yang dilayangkan oleh pihak yang mengaku diri mereka sebagai tokoh masyarakat ulayat Nggorang.
“Dari tujuh poin yang disampaikan, seolah-olah ada masalah publik, padahal itu masalah pribadi. Membaca setiap poin yang disajikan, tercium aroma kepentingan dari setiap oknum kelompok tersebut, tapi mereka menarasikan seolah ini kepentingan publik,” papar Yos Nggarang.
“Mewakili kepentingan publik, tapi terbaca juga ada poin yang ingin membatasi kewenangan Fungsionaris Adat, yang mana kewenangan itu bukan hal baru tapi sudah turun – temurun seperti yang sudah menjadi kebiasaan,” lanjutnya.
Ia lalu membedah poin-poin surat terbuka tersebut. Pada poin pertama disebutkan, “Berpegang teguh pada surat pernyataan anak dan cucu ketua/ wakil Fungsionaris Adat yang dibuat pada tanggal 1 Maret 2013. Prihal Kedaulatan Fungsionaris Adat Nggorang atas tanah adat ulayat Nggorang, wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat”.
“Poin ini jangan disalahgunakan. Saya menelusuri by dokumen, bahwa latar belakang surat ini terkait penolakan tambang, di mana saat itu Pemkab Manggarai Barat sedang beperkara dengan perusahaan tambang, PT Grand Nusantara, di Pengadilan Negeri Labuan Bajo,” tegasnya.
Surat itu, demikian Yos Nggarang, bermakna bahwa lokasi tambang itu berada di tanah masyarakat. Karena itu, Fungsionaris Adat Nggorang berupaya mengeluarkan surat dukungan kepada Pemkab Manggarai Barat dan bertujuan melindungi hak masyarakat.
“Jadi surat ini bukan untuk menyerahkan wewenang apalagi menghilangkan fungsi tugas pokok dan wewenang Fungsionaris Adat Nggorang. Surat itu maknanya untuk melindungi hak kepemilikan dan surat itu atas dasar permintaan Pemkab Manggarai Barat,” ujar Yos Nggarang.
Ia menambahkan, surat terbuka itu juga memuat poin membatasi peran dan wewenang Fungsioanaris Adat. Bagi Yos Nggarang, ini agak aneh karena mereka sepertinya sengaja tidak paham bahwa peran ahli waris itu hanya melanjutkan. Tidak ada hal yang baru, dan sifat mereka pasif.
“Jadi harus dipahami, orang atau institusilah yang membutuhkan Fungsionaris Adat. Bukan sebaliknya. Di mana- mana yang namanya masyarakat adat itu ada pemimpinnya, tapi dalam poin-poin yang dikemukan (dalam surat terbuka) itu, kesannya mau menghilangkan peran pemimpinnya,” tutur Yos Nggarang.
Ia juga menyorot poin ketiga dalam surat terbuka tersebut, yang isinya “Bahwa jabatan Ketua/ Wakil Ketua Fungsionaris Adat Nggorang bukan jabatan warisan yang berlaku secara turun – temurun. Maka bagi anak/ cucu/ ketua/ wakil Fungsionaris Adat Nggorang perlu membatasi diri untuk tidak melakukan tindakan seperti yang dilakukan mendiang ketua/ wakil Fungsionaris Adat terdahulu atas dasar ahli waris”.
Bagi Yos Nggarang, poin ini sangat mengingkari adat/ budaya Manggarai. Sebab dalam kebiasaan adat di Mangagrai, Tua Adat atau Tua Golo justru diwariskan turun-temurun kepada mereka yang bagian dari lingkaran keluarga. Jadi, yang namanya ahli waris itu tidak terputus garis keturunannya.
“Jika mengingkari kebiasaan adat seperti ini, maka semakin kuat dugaan ada motif kepentingan dari oknum kelompok ini,” tandas Yos Nggarang.
Ia juga menduga, surat terbuka ini memiliki motif untuk melegalkan praktik mencurigakan dari oknum-oknum yang mana mereka menata tanah masyarakat yang sudah ditata dan dibagi kepada 39 orang oleh Fungsionaris Adat Nggorang, Haji Ishaka (almarhum) dan Haku Mustafa (almarhum) pada tahun 1997, yang letak lokasinya di daerah Gusoh Ngea.
Kegiatan oknum-oknum ini diduga dilakukan dengan diam-diam tanpa sepengetahuan ahli waris Fungsionaris Adat Nggorang.
“Dari penelusuran saya berdasarkan dokumen, penataan oleh oknum ini dilakukan sekitar bulan Agustus 2003. Padahal Lahan di Gusoh Ngea tersebut sudah diserahkan kepada 39 orang penerima, diantaranya Chris Rotok, Fidelis Kerong, Frans Paju Leok, dan 36 lainnya,” urai Yos Nggarang.
Dan dalam pelaksanaan penataan lahan tersebut, Haji Adam Djudje (almarhum) terlibat langsung di lapangan. Lalu pada tahun 2003, diduga Haji Adam Djuje menata kembali lahan yang sudah ditata tersebut dan dikapling kepada 322 orang calon penerima tanah, termasuk pemilik lama yang jumlahnya 39 orang.
“Dalam penataan kapling lahan 322 orang ini, diduga FA adalah salah satu ketua kelompok dan dia juga tercatat sebagai calon penerima pembagian kapling dari jumlah 322 orang, yang mana dalam dokumen FA tercatat menerima pembagian di kapling nomor 70,” jelas Yos Nggarang.
Namun sampai dengan saat ini, ahli waris Fungsionaris Adat Nggorang tidak pernah menandatangani dokumen daftar penerima pembagian tanah adat Lengkong Gusoh Ngea dan Toroh Sitangga.
“Jadi sebagai bentuk tanggung jawab dan melindungi hak-hak penerima pada tahun 1997, ahli waris Fungsionaris Adat mengirim surat pada tanggal 28 Agustus 2003 kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai, yang inti suratnya keberatan atas pengukuran tanah di Gusoh Ngea, dan bahwa lokasi yang ditata lagi oleh oknum-oknum itu merupakan lahan yang sudah diserahkan kepada 39 orang,” tuturnya.
“Maksud dari surat yang dikirim oleh ahli waris Fungsionaris Adat ini tak lain untuk melindungi hak-hak kepemilikan dan menghindari terjadinya tumpang tindih kepemilikan dari penerima yang sudah diserahkan pada tahun 1997,” lanjut Yos Nggarang.
Setelah surat pemberitahuan ahli waris Fungsionaris Adat kepada BPN tahun 2003, diketahui tidak ada lagi aktivitas di lapangan.
Namun berdasarkan dokumen yang dibaca Yos Nggarang, terjadi pertemuan pada tanggal 8 Oktober 2014 bertempat dibrumah Ketua Panitia Pembagian Tanah, AH, di Labuan Bajo.
“Pertemuan tanggal 8 Oktober itu bukan pertemuan pertama, tetapi pertemuan lanjutan sebagaimana bunyi redaksi dalam surat yang saya baca pada poin 11 hasil rapat tanggal 8 yang merupakan tindak lanjut pertemuan tanggal 4 Oktober 2014,” beber Yos Nggarang.
Dengan demikian, pertemuan panitia penataan lahan ini terjadi lebih dari sekali. Dalam waktu sebulan kemudian, berdasarkan dokumen, pada tanggal 9 November 2014 ada surat penolakan dari 39 orang penerima tanah tanggal 15 Mei tahun 1997 yang ditujukan kepada Haji Adam Djujde (alamarhum) dengan prihal penolakan atas penataan ulang tanah Lengkong Gusoh Ngea dan Toroh Sitangga.
Bupati Keluarkan Surat
Berikutnya yang menarik, Bupati Manggarai Barat mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Kepala BPN Kabupaten Manggarai Barat dan Camat Komodo, dengan nomor surat: Pem 131/ 362/ XI/ 2014 tanggal 13 November 2014.
Prihal surat Bupati tersebut adalah Penataan Tanah Adat Nggorang di Gusoh Ngea dan Toroh Sitangga dan Tanah Hutan Negara.
Dari redaksi pembuka surat Bupati Manggarai Barat itu, diketahui bahwa bupati menerima informasi dari masyarakat telah terjadi kegiatan penataan/ pembagian ulang tanah-tanah adat seperti yang tertera dalam prihal surat oleh panitia pembagi tanah yang bukan oleh ahli waris Fungsionari Adat dari Dalu Nggorang.
Surat Bupati ini keluar untuk mencegah keresahan dan konflik horizontal di masyarakat Kota Labuan Bajo saat itu.
“Lalu apa motif dari penataan ulang tanah adat yang sudah dibagi ke masyarakat? Diduga motifnya itu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi bagi oknum-oknum itu,” kata Yos Nggarang.
“Jadi, kita lihat hari-hari ke depan, bukan tidak mungkin sebagian dari 322 orang yang dijanjikan itu menuntut haknya, sebab diduga mereka sudah memberi kewajiban kepada oknum-oknum sejumlah uang. Soal ini saya sudah mengantongi bukti penyerahan uang, bahkan si calon penerima berdasarkan dokumen foto, penerima sempat dibawa ke lokasi,” imbuhnya.
Berangkat dari hal ini, Yos Nggarang menyebut, serangan yang ditujukan kepada Fungsionaris Adat selama sekian minggu ini dengan narasi lahan Kerangan, bukan merupakan satu-satunya yang ingin dicapai. Namun sasaran utama mereka adalah lokasi Gusoh Ngea dan lainnya.
“Dugaan saya ini terbaca dari narasi oknum-oknum yang sering muncul di publik, yang berani mengatakan bahwa penerus ahli waris Fungsionaris Adat itu perusak. Ini narasi serangan yang bertujuan untuk melemahkan Fungsionaris Adat dan bertujuan agar produk-produk dokumen yang mereka buat selama ini dilegalkan. Tentu ini sangat membahayakan bagi publik, dan juga bisa merusak tatanan adat,” ucapnya.
Yos Nggarang pun mengingatkan, dalam pengusutan sengketa lahan Kerangan 30 Hektare tahun 2021, peta lahan Gusoh Ngea tersebut turut disita oleh Penyidik Kejaksaan Tinggi NTT dalam penggeledahan di rumah almarhum Adam Djujde bersama barang bukti lain, yaitu beberapa mesin ketik.
“Saya menyaksikan langsung saat persidangan di Pengadilan Tinggi Tipikor K Kupang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuka peta itu dalam persidangan,” ujarnya.
Yos Nggarang pun kembali menghimbau kepada masyarakat Manggarai Barat, agar jangan terpengaruh dengan narasi yang dibangun oleh oknum kelompok yang “haus” ini. Masyarakat harus belajar dari kasus Kerangan sebelumnya.
“Saya juga menghimbau kepada pemerintah Kabupaten Manggarai Barat agar saling berkoordinasi dengan Fungsionaris Adat seperti yang dilakukan oleh bupati sebelumnya. Dan diingatkan agar hati-hati dalam memproses permohonan tanah. Dan sebisa mungkin tidak jadi bagian dari kelompok “pemain” tanah,” pungkas Yos Nggarang.(**)